Jakarta, Sinata.id – Kebijakan tarif tinggi yang diberlakukan Amerika Serikat berpotensi mengguncang sektor ketenagakerjaan Indonesia. Diperkirakan sebanyak 1,2 juta pekerja di Tanah Air terancam mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) jika pemerintahan Presiden AS Donald Trump tetap memberlakukan tarif resiprokal sebesar 32% terhadap produk asal Indonesia.
Pekerja Indonesia Terancam Dampak Tarif Dagang AS
Peringatan ini disampaikan oleh Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira Adhinegara, dalam diskusi yang digelar Forum Wartawan Perindustrian di Jakarta, Kamis (17/4). Ia mengacu pada data Dana Moneter Internasional (IMF) tahun 2024 yang menunjukkan bahwa setiap kenaikan tarif impor sebesar 1% dapat menekan volume impor hingga 0,8%.
“Ketika tarif naik, harga barang asal Indonesia otomatis menjadi lebih mahal di pasar Amerika. Hal ini akan menurunkan permintaan dan berdampak langsung pada penurunan produksi dalam negeri,” jelas Bhima.
Dampak penurunan produksi ini, lanjutnya, akan berimbas pada pengurangan tenaga kerja di berbagai sektor industri. Dalam perhitungannya, potensi PHK mencapai 1,2 juta orang, dengan industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) menjadi salah satu yang paling rentan, yakni menyumbang sekitar 191.000 potensi PHK.
Tak hanya industri tekstil, sektor lain seperti industri kimia dasar, minyak nabati, dan minyak hewani juga diprediksi akan mengalami tekanan. Khusus untuk industri hilir kelapa sawit atau produk turunan Crude Palm Oil (CPO), potensi PHK diperkirakan menyentuh angka 28.000 pekerja.
“Kebijakan proteksionis seperti ini bukan hanya menghambat ekspor, tetapi juga menciptakan efek domino terhadap stabilitas ekonomi dan ketenagakerjaan dalam negeri,” ujar Bhima.
Situasi ini menambah daftar panjang tantangan industri nasional di tengah dinamika perdagangan global yang semakin kompetitif dan sarat dengan hambatan tarif. (*)