Sinata.id – Qantas Airways, maskapai kebanggaan Australia itu kini diterpa badai setelah jutaan data pelanggan mereka beredar di dunia maya, buntut dari serangan siber yang terjadi pada Juli lalu.
Nama besar Qantas Airways Ltd. tengah jadi bahan perbincangan panas. Maskapai nasional Australia itu mengonfirmasi bahwa data pelanggan mereka telah bocor dan kini dipublikasikan secara online.
Dalam pernyataan resminya akhir pekan lalu, Qantas mengungkapkan bahwa sebanyak 5,7 juta catatan pelanggan diambil secara ilegal melalui platform pihak ketiga. Meski pihak perusahaan menegaskan sebagian besar informasi yang bocor hanya mencakup nama, alamat email, dan detail program frequent flyer, dampaknya tetap mengkhawatirkan publik.
Baca Juga: Kris Dayanti Siap Berlaga di Arena Wushu Internasional
Namun, bukan itu saja. Sebagian kecil data sensitif lain seperti alamat rumah, tanggal lahir, nomor telepon, jenis kelamin, dan bahkan preferensi makanan penumpang juga ikut terekspos. Meski terlihat sepele, data ini bisa menjadi “harta karun” bagi pelaku kejahatan siber untuk aksi penipuan atau rekayasa sosial di dunia maya.
Qantas buru-buru menenangkan para pelanggan. Mereka menegaskan bahwa data penting seperti kartu kredit, paspor, maupun detail login akun tidak tersentuh oleh peretas. Artinya, sistem utama mereka masih aman, dan akun frequent flyer pelanggan tidak mengalami gangguan langsung.
Tak tinggal diam, pihak Qantas langsung mengajukan permintaan perintah pengadilan ke Mahkamah Agung New South Wales, untuk menghentikan penyebaran dan akses terhadap data curian itu.
Selain itu, perusahaan juga memperketat pengawasan keamanan internal dan meningkatkan pelatihan keamanan siber bagi karyawan, sebagai upaya mencegah kebocoran serupa di masa depan.
Dalam siaran resminya, Qantas menegaskan mereka kini bekerja sama dengan Australian Cyber Security Centre dan Kepolisian Federal Australia untuk mengusut sumber dan jalur distribusi kebocoran ini.
Bahkan, pelanggan yang terdampak langsung ditawari dukungan perlindungan identitas, agar tidak menjadi korban kejahatan digital berikutnya.
Pengamat keamanan siber menilai, serangan terhadap Qantas memperlihatkan betapa rentannya ekosistem data pribadi di sektor transportasi, yang kini makin terkoneksi dengan sistem digital pihak ketiga.
“Serangan terhadap maskapai bukan lagi hal baru. Tapi yang mengkhawatirkan adalah bagaimana data pelanggan bisa berpindah tangan dengan mudah,” ujar salah satu pakar keamanan digital dari Sydney Cyber Institute. [zainal/a46]