“Salah satu faktor utama maju atau tidaknya suatu desa adalah ketersediaan internet dan sinyal,” tutur Yandri.
Ia menegaskan, tanpa internet, desa-desa akan terus tertinggal, baik dari segi ekonomi, pendidikan, maupun sosial. Karena itu, program “Desa Digital” yang tengah digenjot pemerintah menjadi solusi strategis untuk menjembatani kesenjangan tersebut.
Pemerintah kini menerapkan pendekatan kolaboratif lintas lembaga. Kementerian Komunikasi dan Digital bekerja berdampingan dengan Kementerian Desa, Kementerian Keuangan, serta pihak swasta. Tujuannya: memastikan pembangunan infrastruktur digital berjalan serentak dan berkelanjutan.
Langkah ini termasuk pemanfaatan dana desa untuk penyediaan infrastruktur internet, serta integrasi program “Satu Data Indonesia” agar seluruh informasi publik dapat diakses secara terbuka.
“Tak hanya jaringan yang dibangun, tapi juga ekosistem digital yang berkelanjutan,” ujar Meutya Hafid.
Konektivitas digital bukan hanya soal sinyal, tetapi juga soal kesetaraan. Dengan akses internet, masyarakat di pelosok bisa menjual produk lokal lewat e-commerce, mengikuti pelatihan daring, bahkan mengakses layanan kesehatan jarak jauh (telemedicine).
Namun, jalan menuju pemerataan digital tak mudah. Tantangan datang dari kondisi geografis Indonesia yang luas, biaya pembangunan infrastruktur yang tinggi, hingga keterbatasan sumber daya manusia di daerah terpencil.
Meski demikian, pemerintah menegaskan tidak akan mundur. Proyek satelit multifungsi dan jaringan serat optik Palapa Ring menjadi andalan untuk menjangkau wilayah yang sulit dijangkau menara BTS.
Visi “Indonesia Terkoneksi 2030” kini menjadi cita-cita bersama. Sebuah masa depan di mana setiap warga, dari Sabang sampai Merauke, bisa terkoneksi, terdidik, dan berdaya lewat teknologi digital.
“Internet bukan sekadar fasilitas, tapi kebutuhan dasar abad ke-21,” tegas Meutya. [zainal/a46]