Sinata.id – Ketika mendengar istilah gunung tertinggi di dunia, hampir setiap orang akan spontan menyebut Gunung Everest. Selama puluhan tahun, puncak yang berdiri gagah di perbatasan Nepal dan Tibet itu telah menjadi ikon ketinggian dan ambisi manusia. Namun, tahukah Anda bahwa beberapa ilmuwan dan peneliti geologi mulai mempertanyakan klaim tersebut?
Ada gunung lain yang, tergantung pada cara kita mengukurnya, bisa saja menyandang gelar sesungguhnya.
Pertanyaan ini bukan sekadar permainan kata, tapi juga mengguncang pemahaman kita tentang geografi Bumi dan memantik rasa takjub terhadap planet biru yang kita huni.
Baca Juga: Ternyata Bumi Pernah Hampir Membeku Sepenuhnya
Mengapa Everest Dianggap Gunung Tertinggi?
Gunung Everest, dengan ketinggian resmi 8.848,86 meter di atas permukaan laut (hasil pengukuran bersama Nepal dan Tiongkok pada 2020), selama ini diakui secara global sebagai gunung tertinggi.
Dalam dunia pendakian, menyebut Everest saja sudah cukup untuk menyalakan imajinasi tentang badai salju, udara tipis, dan pemandangan Himalaya yang menakjubkan. Ribuan pendaki rela mempertaruhkan nyawa demi berdiri di puncaknya.
Namun, penentuan “tinggi” bukanlah hal sesederhana mengukur dari dasar laut hingga ke puncak.
Cara Mengukur Ketinggian
Secara tradisional, ketinggian gunung diukur dari permukaan laut. Dengan metode ini, Everest menang telak. Tetapi Bumi bukan bola sempurna—ia sedikit pepat di kutub dan menonjol di ekuator. Artinya, pusat Bumi tidak selalu berada pada jarak yang sama dari permukaan.
Jika kita mengukur dari pusat Bumi, pemenangnya bukan Everest, melainkan Gunung Chimborazo di Ekuador. Meski hanya sekitar 6.263 meter di atas permukaan laut, Chimborazo berdiri tepat di bawah tonjolan ekuator Bumi, sehingga puncaknya sebenarnya paling jauh dari pusat Bumi.
Lalu ada pendekatan lain: mengukur ketinggian dari dasar laut. Di sini, Everest harus menyerah kepada Mauna Kea di Hawaii.
Mauna Kea mungkin “hanya” 4.207 meter di atas permukaan laut, tetapi jika dihitung dari dasar samudra Pasifik, total ketinggiannya mencapai lebih dari 10.200 meter. Dalam konteks ini, Mauna Kea adalah gunung tertinggi sejati—ia hanya “bersembunyi” di bawah air.
Gunung Chimborazo: Sang Juara dari Perspektif Kosmik
Bayangkan berdiri di puncak Chimborazo, menghirup udara tipis Andes, dan menyadari bahwa Anda adalah manusia paling dekat dengan bintang-bintang. Emosional bukan?
Chimborazo bukan sekadar gunung, tetapi simbol bagaimana perspektif mengubah segalanya. Penduduk lokal Ekuador memandangnya dengan penuh hormat; legenda suku Quechua bercerita bahwa Chimborazo adalah raksasa yang tidur, menjaga tanah mereka.
Dari puncaknya, Anda sebenarnya lebih dekat ke luar angkasa dibanding pendaki Everest, meski angka di peta menunjukkan ketinggian lebih rendah.
Mauna Kea: Sang Raksasa Tersembunyi di Samudra Pasifik
Mauna Kea adalah gunung berapi perisai yang tenang, berdiri anggun di tengah Samudra Pasifik. Bagi masyarakat Hawaii, Mauna Kea adalah tempat suci, rumah bagi roh leluhur. Dari dasar laut hingga puncak, ia melampaui Everest lebih dari 1.300 meter.
Di lerengnya berdiri observatorium astronomi kelas dunia karena langitnya yang jernih.
Bagi para astronom, berdiri di sana seperti menatap langsung ke jantung galaksi. Ini bukan sekadar sains—ini adalah momen spiritual. Fakta bahwa Mauna Kea adalah gunung tertinggi dari dasar laut memberi pelajaran bahwa kebenaran alam sering kali tersembunyi di balik permukaan.
Everest: Tetap Menjadi Simbol Manusia Melawan Batas
Meskipun perdebatan ilmiah menyebut Mauna Kea atau Chimborazo, tidak ada yang dapat menandingi makna budaya dan emosional Everest. Kisah pendaki pertama yang berhasil mencapai puncak, Sir Edmund Hillary dan Tenzing Norgay pada 1953, adalah legenda keberanian.
Everest mewakili ambisi manusia untuk menaklukkan yang mustahil.
Jalur menuju puncaknya penuh bahaya—Khumbu Icefall, badai mendadak, dan “zona kematian” di atas 8.000 meter.
Setiap langkah di sana adalah pertarungan dengan alam dan diri sendiri. Bagi banyak orang, Everest akan selalu menjadi gunung tertinggi dalam hati dan imajinasi mereka.
Tiga Kriteria Ketinggian
Para ahli geografi kini cenderung menggunakan tiga kriteria untuk menentukan gunung tertinggi:
-
Ketinggian dari Permukaan Laut → Everest menang (8.848,86 m).
-
Ketinggian dari Dasar Laut → Mauna Kea menang (>10.200 m).
-
Jarak dari Pusat Bumi → Chimborazo menang (sekitar 6.384 km dari pusat Bumi).
Dengan tiga kriteria ini, tidak ada satu jawaban mutlak. Istilah gunung tertinggi menjadi lebih kompleks dan menarik.
Ada sesuatu yang sangat manusiawi dalam mengejar “yang tertinggi.”
Sejak zaman kuno, puncak-puncak gunung dipuja sebagai tempat tinggal para dewa. Di Yunani kuno, Gunung Olympus adalah singgasana Zeus.
Di Himalaya, puncak-puncak disakralkan oleh umat Buddha dan Hindu.
Kita memandang gunung bukan hanya sebagai tumpukan batu, tetapi monumen alam yang memanggil jiwa kita.
Dalam konteks ini, perdebatan tentang gunung tertinggi bukan sekadar angka—ia adalah cermin dari kerinduan kita untuk melampaui batas.
Kisah Para Pendaki
Setiap gunung membawa kisahnya sendiri. Di Everest, ratusan pendaki telah kehilangan nyawa.
Di Mauna Kea, aktivis lokal berjuang melindungi tanah suci dari pembangunan berlebihan.
Di Chimborazo, para petualang menemukan kedamaian di tengah salju Andes.
Kisah-kisah ini mengajarkan bahwa keagungan alam sering dibayar dengan pengorbanan. Dalam setiap napas tipis di ketinggian, kita diingatkan betapa kecilnya manusia di hadapan jagat raya.
Gunung-Gunung Lain yang Menantang Persepsi
Selain tiga raksasa ini, ada gunung lain yang kerap disebut dalam perdebatan.
K2 di Pakistan, misalnya, hanya sedikit lebih rendah dari Everest (8.611 m), tetapi jauh lebih mematikan untuk didaki.
Denali di Alaska memiliki relief vertikal terbesar dari dasar lembahnya ke puncak, membuatnya terlihat menjulang lebih dramatis daripada Everest jika dilihat dari kaki gunung.
Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa “tertinggi” bisa bermakna berbeda tergantung perspektif.
Memahami Bumi Lebih Dalam
Diskusi tentang gunung tertinggi bukan hanya trivia geografi. Ini membantu para ilmuwan memahami bentuk Bumi, dinamika lempeng tektonik, dan sejarah geologis planet kita.
Tonjolan ekuator yang membuat Chimborazo unggul, misalnya, adalah bukti bahwa Bumi terus berputar dan mengalami perubahan bentuk.
Mauna Kea, sebagai gunung berapi, menceritakan kisah panjang pembentukan Hawaii.
Everest sendiri adalah hasil tabrakan dahsyat lempeng India dan Eurasia jutaan tahun lalu. Setiap puncak adalah bab dalam buku sejarah alam.
Ada keindahan mendalam dalam menyadari bahwa tidak ada jawaban tunggal.
Seperti hidup, kebenaran sering kali bergantung pada sudut pandang. Dari permukaan laut, Everest adalah juara. Dari dasar samudra, Mauna Kea menang.
Dari pusat Bumi, Chimborazo memimpin. Tiga gunung, tiga perspektif, satu pelajaran, keagungan alam terlalu luas untuk dikurung dalam satu angka. Ini mengajarkan kita kerendahan hati dan rasa kagum terhadap planet yang kita huni.
Mengapa Everest Tetap Ikonik bagi Dunia
Walaupun fakta ilmiah memberi alternatif, Everest akan selalu memegang tempat istimewa.
Setiap tahun, desa-desa Sherpa di Himalaya menyambut para pendaki yang membawa mimpi besar.
Film, buku, dan dokumenter tentang Everest menginspirasi jutaan orang.
Bendera-bendera dari berbagai negara berkibar di puncaknya, mewakili persatuan global.
Gunung tertinggi bukan lagi sekadar pengukuran fisik—ia telah menjadi simbol perjuangan, persatuan, dan keindahan manusia yang menolak menyerah.
Jadi, apakah Gunung Everest benar-benar gunung tertinggi di dunia? Jawabannya: ya dan tidak.
Jika mengikuti definisi klasik dari permukaan laut, Everest tak tertandingi. Namun, jika kita mengubah cara pandang, Mauna Kea dan Chimborazo berhak menantang tahtanya. (A46)