Jakarta, Sinata.id – Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani mengungkapkan meski data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2025 tercatat 5,12% (yoy), melampaui ekspektasi sejumlah lembaga internasional maupun domestik, namun di balik capaian tersebut, masih banyak indikator yang menunjukkan perlambatan.
Hal ini disampaikan Shinta dalam forum Town Hall Nasional Apindo yang dihadiri seluruh dewan pimpinan provinsi (DPP) se-Indonesia, Jumat, 19 September 2025, di Permata Kuningan Building, Jakarta. Forum ini membahas strategi pengupahan tahun 2026 serta meninjau dinamika ekonomi nasional 2025 yang penuh tantangan.
Menurut Shinta, data Kementerian Ketenagakerjaan mencatat PHK pada semester I 2025 naik 32% dibanding tahun lalu. Sektor otomotif pun melemah, dengan penjualan kendaraan wholesale turun 8,6% dan retail 9,5%. Industri ritel terpukul lebih dalam: barang konsumsi turun 5−10%, makanan dan minuman 20−30%, serta pakaian garmen lebih dari 30%.
Selain itu, pertumbuhan kredit perbankan hanya 7,03% pada Juli 2025, melambat selama lima bulan berturut-turut. Indeks Kepercayaan Konsumen juga tergerus dari 121,1 di Maret menjadi 117,2 di Agustus.
“Pertumbuhan memang ada, tetapi daya beli masyarakat masih lemah, sektor usaha belum sepenuhnya pulih. Kita harus jujur melihat fakta di lapangan,” kata Shinta.
Stimulus Rp200 Triliun: 8+4+5 Program untuk Menjaga Daya Beli
Pemerintah mencoba memperkuat fondasi ekonomi dengan injeksi likuiditas Rp 200 triliun dan paket stimulus 8+4+5. Program ini mencakup:
- Magang bagi lulusan baru (maksimal 1 tahun lulus)
- Bantuan pangan Oktober–November 2025
- Diskon iuran BPJS Ketenagakerjaan bagi pekerja transportasi daring
- Program padat karya tunai di sektor infrastruktur dan transportasi
- Program MLT Perumahan BPJS Ketenagakerjaan
Revitalisasi tambak, replanting perkebunan rakyat, modernisasi kapal nelayan, hingga program Kampung Nelayan Merah Putih
Di sisi fiskal, pemerintah memperpanjang insentif PPh Final 0,5% untuk UMKM hingga 2029, dan di sisi moneter, BI Rate diturunkan menjadi 4,75% untuk mendorong kredit konsumsi dan investasi.
Namun, Apindo memberi catatan penting. Menurut Shinta, stimulus tidak boleh sekadar habis untuk konsumsi, tetapi harus menciptakan multiplier effect melalui investasi swasta. “Tata kelola, ketepatan eksekusi, serta reformasi struktural menjadi syarat mutlak,” ujarnya.
Strategi Pengupahan 2026
Isu pengupahan menjadi perhatian besar dalam Town Hall ini. Apindo menyiapkan strategi agar kebijakan pengupahan 2026 lebih realistis, berimbang antara kesejahteraan pekerja dan keberlangsungan usaha.
Untuk itu, setiap DPP Apindo diinstruksikan mengumpulkan data:
- Inflasi daerah dan proyeksi 2026
- Pertumbuhan ekonomi regional
- Kondisi pasar kerja dan daya serap tenaga kerja
- Produktivitas tenaga kerja
- Kemampuan keberlangsungan usaha
“Dengan basis data yang kuat, APINDO dapat memberikan pandangan objektif di Dewan Pengupahan. Kita tidak ingin keputusan hanya berbasis tekanan politik, tetapi juga pada realitas ekonomi,” ujar Shinta.
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)
Selain pengupahan, APINDO juga menyoroti kesiapan pengusaha dalam representasi di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Dengan adanya pendaftaran hakim adhoc PHI 2025, APINDO menekankan pentingnya memastikan pengusaha memiliki wakil yang kompeten dalam menyelesaikan sengketa industrial.
Antara Harapan dan Tantangan
Town Hall Apindo ini memperlihatkan dua wajah ekonomi Indonesia 2025. Di satu sisi, ada optimisme pertumbuhan di atas 5% yang menjadi modal penting menjelang tahun politik 2026. Namun di sisi lain, daya beli melemah, PHK meningkat, dan sektor riil melemah adalah alarm keras bahwa pemulihan belum merata.
Strategi pengupahan 2026 menjadi titik krusial. Jika upah terlalu tinggi tanpa mempertimbangkan produktivitas, dunia usaha bisa tertekan. Namun jika upah stagnan, daya beli masyarakat akan semakin terpuruk. Di sinilah peran APINDO untuk mencari jalan tengah yang adil.
Ke depan, efektivitas stimulus Rp200 triliun akan diuji. Bila tata kelola buruk, dana hanya akan menguap di konsumsi jangka pendek. Namun bila tepat sasaran, program padat karya, bantuan pangan, dan revitalisasi sektor produktif bisa menjadi bantalan pertumbuhan sekaligus mengurangi gejolak sosial. (A27)