Sinata.id – Wakil Gubernur (Wagub) Sumatera Utara (Sumut) Surya mengapresiasi Aliansi Pejuang Reformasi Agraria (APARA) menyampaikan aspirasi dengan santun, jelas, dan konstruktif. Hal itu disampaikan Wagub Surya saat menerima audiensi APARA, terkait reformasi agraria dan konflik agraria di Sumut, di Kantor Gubernur Jalan Diponegoro 30, Medan, Kamis (25/9).
Wagub Surya mengatakan, dirinya bersama Gubernur Sumut Bobby Nasution dalam menjalankan tugas sangat berpihak kepada masyarakat Sumut. “Saya dan Gubernur pada prinsipnya berpihak kepada rakyat,” ucap Surya.
Menurutnya, penyelesaian masalah agraria merupakan isu yang sangat kompleks dan tidak bisa diselesaikan secara instan. “Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah membentuk Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) pada tanggal 14 Agustus lalu, sebagai bentuk komitmen untuk menindaklanjuti persoalan agraria di daerah,” sambung Surya.
Surya mengakui, bahwa roda pemerintahan saat ini merupakan amanah langsung dari masyarakat. “Jadi masalah reformasi agraria dan konflik agraria di Sumatera Utara ini sudah menjadi kewajiban untuk menindaklanjuti apa yang menjadi instruksi Presiden Republik Indonesia,” jelasnya.
Konflik masalah agraria seringkali melibatkan banyak kepentingan. Karena itu, menurutnya, penyelesaiannya tidak bisa dilakukan secara sepihak, melainkan memerlukan komunikasi berkelanjutan.
Dengan adanya pertemuan dari APARA tersebut, menjadi awal dari rangkaian diskusi lanjutan. Surya pun akan menyampaikan aspirasi ini langsung kepada Gubernur. Karena masalah pertanahan merupakan tanggung jawab bersama, meskipun tidak dapat diselesaikan secepat membalikkan telapak tangan.
Untuk itu, Surya memastikan, bahwa tidak ada kepentingan masyarakat yang akan dihalangi oleh birokrasi. Semua aspirasi akan menjadi atensi pemerintah. “Keputusan Gubernur terkait GTRA tidak dibuat secara sembarangan, melainkan sudah melalui banyak pertimbangan regulasi dan konsultasi dengan pihak terkait,” jelasnya.
Sementara itu, menurut Asisten Pemerintahan Provinsi Sumut Basarin Yunus Tanjung, bahwa konflik pertanahan di Sumut sebagian besar berawal dari tumpang tindih kepemilikan tanah dan persoalan legalitas dokumen. “Beberapa konflik telah berhasil ditangani, misalnya kasus di Siosar yang sudah dikeluarkan dari kawasan hutan,” ucapnya.
Namun, konflik antara masyarakat seringkali lebih sulit diselesaikan dibandingkan konflik antara masyarakat dengan pemerintah, karena melibatkan hubungan sosial yang lebih kompleks. “Terkait masyarakat hukum adat, pemerintah telah menetapkan sejumlah kriteria pengakuan dan perlindungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan,” katanya. (sn7)