Asahan, Sinata.id – Panen raya jagung digelar Polres Asahan bersama Forkopimda di Desa Perhutaan Silau, Kecamatan Pulo Bandring, pada Sabtu (27/9/2025), di lahan dengan luas mencapai 10 hektare. Acara yang dihadiri jajaran pejabat daerah hingga unsur TNI-Polri itu diklaim sebagai bagian dari upaya mendukung swasembada pangan nasional.
Kapolres Asahan AKBP Revi Nurvelani menyebut panen raya ini merupakan implementasi program Polri kuartal III tahun 2025 yang menekankan penguatan pangan melalui budidaya jagung.
Revi menegaskan program ini untuk memastikan cadangan pangan aman, harga terkendali, dan petani mendapatkan keuntungan layak.
“Program ini menjadi instruksi langsung dari Kapolri untuk memperkuat ketersediaan pangan di seluruh daerah. Melalui budidaya jagung, kita ingin memastikan cadangan pangan tetap aman, harga terkendali, dan petani memperoleh keuntungan yang layak. Polres Asahan bersama Forkopimda siap mendukung penuh upaya ini sebagai bagian dari pengabdian kepada masyarakat,” ungkap Kapolres Revi.
Meski begitu, tanpa data hasil panen, produktivitas per hektare, maupun harga jual di tingkat petani, klaim tersebut sulit diverifikasi.
Apalagi, kebutuhan jagung nasional mencapai puluhan juta ton per tahun, sehingga kontribusi 10 hektare secara makro sangat minim.
Sementara itu, Bupati Asahan Taufik Zainal Abidin menyambut kegiatan ini sebagai bentuk dukungan pemerintah daerah terhadap program nasional.
Taufik menilai panen jagung mampu memberi nilai tambah ekonomi bagi masyarakat.
“Pemerintah Kabupaten Asahan mendukung penuh langkah Polri dalam memperkuat ketahanan pangan. Panen jagung ini bukan hanya menjaga ketersediaan bahan pangan, tetapi juga memberi nilai tambah ekonomi bagi masyarakat tani. Dengan kebersamaan seperti ini, Asahan akan semakin siap menjadi bagian penting dalam program swasembada pangan nasional,” ujar Taufik.
Sayangnya, acara ini lebih banyak menampilkan pernyataan pejabat daripada suara petani sebagai pelaku utama.
Tidak ada keterangan dari kelompok tani mengenai biaya produksi, harga jagung di lapangan, atau apakah mereka benar-benar merasakan keuntungan.
Padahal, isu klasik yang dihadapi petani di Asahan umumnya soal mahalnya pupuk dan sulitnya akses pasar.
Realitas Ketahanan Pangan
Komitmen Forkopimda untuk memperluas lahan dan memperkuat pendampingan teknis patut diapresiasi.
Tetapi tanpa data konkret, tentang berapa target penambahan lahan, bagaimana jaminan pasar, serta solusi atas anjloknya harga ketika panen melimpah, komitmen itu bisa sekadar retorika.
Acara panen raya sering kali lebih menonjolkan aspek seremonial ketimbang menghadirkan solusi nyata bagi petani.
Ketahanan pangan membutuhkan kebijakan jangka panjang, dari akses benih unggul hingga sistem distribusi yang adil, bukan sekadar simbol panen pejabat.
Panen raya jagung di Asahan menunjukkan adanya sinergi lintas sektor.
Namun, membicarakan swasembada pangan nasional dengan basis panen 10 hektare jelas tidak sebanding dengan tantangan riil ketahanan pangan di Indonesia.
Tanpa transparansi data dan keberpihakan nyata pada petani, acara seperti ini rentan dianggap sekadar panggung pencitraan. (SN7)