Sinata.id – Skandal pembobolan rekening dormant senilai ratusan miliar rupiah memicu reaksi keras dari Senayan. Legislator Komisi XI DPR menegaskan, revisi Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) tak bisa lagi ditunda.
Kasus ini dianggap sebagai bukti nyata masih adanya celah dalam sistem keamanan perbankan Indonesia, terutama terkait pengawasan rekening pasif yang justru rawan disalahgunakan.
Anggota Komisi XI DPR, Tommy Kurniawan, menyebut kasus ini menjadi peringatan keras bagi industri perbankan nasional. Rekening dormant, menurutnya, harus ditempatkan sebagai prioritas pengawasan.
“Karena sifatnya pasif dan jarang dipantau nasabah, rekening dormant sangat rentan dipakai sebagai penampungan dana ilegal. Bank harus memperketat pengawasan sejak dini,” ujarnya, dikutip Senin (20/9/2025).
Tommy juga mendorong perbankan untuk memperkuat prinsip Know Your Customer (KYC), meningkatkan audit internal, dan memaksimalkan deteksi dini transaksi mencurigakan. Sinergi dengan PPATK serta aparat penegak hukum juga dinilai krusial agar potensi kejahatan keuangan bisa segera diputus.
Dorongan Revisi UU P2SK
Kasus pembobolan ini sekaligus menjadi momentum bagi DPR untuk mempercepat revisi UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang P2SK. Aturan tersebut mempertegas peran Polri dalam penyidikan pidana keuangan.
“Dengan kewenangan yang jelas, Polri dapat lebih optimal mencegah sekaligus menindak kejahatan di sektor keuangan,” tegas Tommy.
Komisi XI berjanji mengawal ketat langkah pengawasan bersama OJK dan Bank Indonesia. Evaluasi menyeluruh terhadap rekening dormant juga masuk dalam agenda.
Bank diharapkan lebih proaktif menghubungi pemilik rekening pasif, menutup rekening yang berisiko, dan meningkatkan perlindungan konsumen agar kepercayaan publik terhadap sistem perbankan tetap terjaga.
Modus Sindikat: 204 Miliar Raib
Sebelumnya, Bareskrim Polri mengungkap praktik kejahatan terorganisir yang menyedot dana dari rekening dormant hingga mencapai Rp204 miliar. Aksi ini dilakukan di wilayah Jawa Barat dan berlangsung sejak Juni 2025.
Dirtipideksus Bareskrim Polri, Brigjen Helfi Assegaf, menjelaskan terdapat sembilan tersangka dalam kasus ini. Modus mereka melibatkan kepala cabang bank dan mantan pegawai yang memanfaatkan akses ilegal ke sistem core banking.
“Jaringan sindikat mengaku sebagai satgas perampasan aset. Mereka berkoordinasi dengan kepala cabang pembantu untuk merencanakan pemindahan dana dari rekening dormant,” ungkap Helfi di Gedung Bareskrim, Jakarta, Kamis lalu (25/9/2025).
Lebih jauh, kepala cabang diketahui memberikan user ID teller kepada eksekutor yang merupakan eks pegawai bank. Akses inilah yang menjadi pintu masuk sindikat untuk menyedot dana nasabah.
Kasus ini bukan hanya soal kerugian materil, tetapi juga tentang kredibilitas sistem keuangan nasional. Legislator menilai, tanpa pengawasan ketat, rekening dormant akan terus menjadi celah bagi kejahatan terorganisir.
“Kepercayaan publik adalah aset terbesar perbankan. Jangan sampai kasus serupa menggerus keyakinan masyarakat terhadap keamanan dana mereka,” tutup Tommy. (A46)