Sinata.id — Suasana rapat kerja Komisi XI DPR RI mendadak memanas, Selasa (30/9/2025). Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa lantang menolak label “juru bayar” yang belakangan dilekatkan kepadanya usai sejumlah BUMN mengadu ke DPR.
Dengan nada tinggi, Purbaya menegaskan dirinya bukan sekadar “kasir negara” yang hanya membubuhkan tanda tangan dan mencairkan dana. Ia menekankan bahwa Kementerian Keuangan juga berfungsi sebagai pengawas, sekaligus penentu arah dari proyek-proyek yang diajukan perusahaan pelat merah.
“Saya bukan juru bayar! Saya juga mengawasi jalannya proyek. Kalau mereka tak kerjakan sesuai rencana, saya potong anggarannya. Bahkan, kalau perlu, saya ganti direkturnya,” tegas Purbaya.
Purbaya kemudian menyinggung soal pembayaran subsidi dan kompensasi yang selama ini ditagihkan PLN dan Pertamina. Ia memastikan seluruh kewajiban untuk tahun 2024 telah dituntaskan. Namun, publik perlu memahami adanya jeda waktu karena proses audit dan verifikasi yang melibatkan BPK dan BPKP.
“Memang ada masa tunggu, tapi bukan berarti kita menunda sampai tahun berikutnya. Itu hanya proses administratif,” jelasnya.
Meski demikian, Purbaya berjanji akan memangkas lamanya proses tersebut dari hitungan bulan menjadi hanya satu bulan. Pengalamannya di dunia swasta membuatnya sadar bahwa setiap keterlambatan berdampak pada meningkatnya beban biaya perusahaan.
Sentilan untuk Danantara
Dalam kesempatan yang sama, Menkeu Purbaya juga menyoroti sikap salah satu BUMN, yakni Danantara. Ia menilai seharusnya direksi Danantara lebih proaktif berkomunikasi dengan Kementerian Keuangan ketimbang memilih jalur DPR.
“Kalau ada masalah, kenapa tidak datang ke saya? Saya ini pengawas mereka. Kok malah lapor ke DPR dulu? Itu yang membuat saya heran,” ujarnya menyindir.
Menurut Purbaya, sejumlah proposal proyek dari Danantara yang masuk ke meja Kemenkeu masih belum jelas arah dan manfaatnya. Ia menekankan bahwa hanya proyek yang benar-benar efisien yang akan mendapat lampu hijau.
Lebih jauh, Menkeu mengungkapkan wacana pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang sedang dibahas bersama Menteri ESDM Bahlil Lahadalia dan Presiden Prabowo Subianto. Nilai investasinya diperkirakan mencapai US$75 miliar.
Awalnya, biaya produksi listrik dari PLTS itu terlalu tinggi, yakni 9 sen dolar AS per kWh. Namun, kabar terbaru menunjukkan harga bisa ditekan menjadi 6 sen dolar AS per kWh.
“Kalau benar bisa di level itu, maka subsidi listrik akan jauh berkurang. Kita bahkan bisa siapkan PMN (penyertaan modal negara) untuk mendukungnya. Intinya, negara tidak tinggal diam,” ungkapnya.
Melalui rapat tersebut, Purbaya ingin menegaskan satu hal, Kementerian Keuangan bukan sekadar tukang bayar. Ia menempatkan dirinya sebagai regulator sekaligus pengawas ketat agar dana negara benar-benar dipakai untuk kepentingan rakyat.
“Program PSO seperti subsidi listrik dan BBM jangan sampai mengganggu arus kas perusahaan pelat merah. Tapi kalau setelah efisiensi mereka tetap merugi, awas saja! Tidak boleh main-main dengan uang negara,” tutupnya tegas. (A46)
sumber: cnnindonesia