Kabul, Sinata.id – Afghanistan mengalami pemadaman internet total secara nasional sejak Senin malam, 29 September 2025, yang secara efektif mengisolasi negara berpenduduk 40 juta orang dari dunia luar. Pemadaman ini melumpuhkan hampir semua aspek kehidupan, dari layanan kesehatan dan penerbangan hingga komunikasi sehari-hari.
Lembaga pengawas internet Netblocks mengonfirmasi bencana digital ini, melaporkan bahwa konektivitas internet di Afghanistan anjlok drastis hingga hanya 14 persen.
“Afghanistan kini berada di tengah pemadaman internet total,” pernyataan Netblocks, yang juga memperingatkan bahwa insiden ini akan sangat membatasi kemampuan publik untuk berkomunikasi.
Dampaknya langsung terasa. Layanan TV satelit, termasuk stasiun berita lokal Tolo News, mendadak gelap. Rumah sakit, kantor pemerintah, dan sektor swasta dilaporkan kelimpungan. Bandara Kabul membatalkan setidaknya lima penerbangan pada hari Selasa. Seluruh upaya komunikasi internasional via aplikasi seperti WhatsApp dan Telegram gagal total.
Secara resmi, Taliban membingkai keputusan ini sebagai bagian dari “perang suci” melawan maksiat di dunia maya, merujuk pada dekrit dari pemimpin tertinggi mereka, Hibatullah Akhundzada.
Namun, para analis melihat agenda yang lebih kompleks di balik alasan moral tersebut. Mahbob Shah Mahbob, seorang jurnalis Afghanistan di pengasingan, menyatakan bahwa Taliban tidak hanya khawatir dengan konten pornografi, tetapi juga dengan citra buruk dan aturan ekstremis mereka yang dilihat oleh dunia internasional.
Motif lain yang lebih mengerikan adalah paranoia keamanan dari dalam tubuh elite Taliban sendiri. Ahmad Zia Saraj, mantan kepala intelijen Afghanistan yang kini menjadi profesor di King’s College London, menganalisis bahwa pemadaman ini didorong ketakutan akan pengawasan teknologi Barat. Para pemimpin Taliban dikhawatirkan dapat dilacak melalui ponsel pintar dan internet, terutama saat mereka membawa lebih banyak target teroris kelas kakap ke Afghanistan.
Dalam kekacauan ini, kelompok yang paling menderita adalah perempuan dan anak perempuan Afghanistan. Setelah dilarang mengakses pendidikan formal, internet adalah satu-satunya jendela mereka yang tersisa untuk belajar dan terhubung dengan dunia. Kini, jendela itu ditutup paksa.
Habib Khan dari Afghan Peace Watch mengutuk langkah ini, menyatakan bahwa pemadaman internet menyeret Afghanistan ke dalam jurang yang lebih dalam, dengan perempuan sebagai pihak yang paling tercekik.
Tindakan isolasi digital ini terjadi secara ironis di saat Taliban sedang aktif melobi pengakuan internasional dan memohon bantuan kemanusiaan. Abdullah Khenjani dari Front Perlawanan Nasional Afghanistan (NRF) menyebut langkah ini sebagai cerminan sejati dari keterbelakangan dan sifat anti-intelektual rezim Taliban, yang bertujuan memutuskan arus informasi antara warga Afghanistan dengan dunia luar. (A58)