Sinata.id – Gelombang panas ekstrem yang melanda Jepang tahun ini berubah menjadi bencana kemanusiaan. Data resmi Badan Pemadam Kebakaran dan Manajemen Bencana Jepang mencatat, sejak awal Mei hingga akhir September, sebanyak 100.143 orang harus dilarikan ke rumah sakit akibat serangan panas (heat stroke). Jumlah itu bukan sekadar angka, melainkan rekor tertinggi sepanjang sejarah pencatatan di negara tersebut.
Fenomena ini terjadi seiring suhu yang terus melambung. Badan Meteorologi Jepang melaporkan, rata-rata temperatur musim panas tahun ini menjadi yang terpanas sejak pencatatan dimulai pada 1898.
Bahkan, rekor suhu nasional pecah dua kali hanya dalam hitungan hari. Situasi ini memicu lonjakan kasus heat stroke hampir 3 persen lebih tinggi dibanding tahun lalu.
Di Prefektur Saitama, seorang nenek berusia 78 tahun ditemukan tak sadarkan diri di dalam rumahnya yang tanpa pendingin udara. Ia segera dilarikan ke rumah sakit, namun dokter menyebut kondisinya kritis akibat suhu tubuh yang melonjak drastis.
Kasus serupa juga terjadi di Tokyo, di mana seorang pekerja konstruksi muda harus menjalani perawatan intensif setelah kolaps di lokasi proyek. Kisah-kisah ini menjadi wajah nyata dari ancaman panas ekstrem yang tak pandang usia.
Pemerintah Jepang pun bergerak cepat. Mereka mendorong pemasangan AC di aula olahraga sekolah, membuka pusat pendingin di fasilitas umum seperti perpustakaan, hingga mengeluarkan aturan baru yang mewajibkan perusahaan melindungi pekerjanya dari suhu ekstrem.
“Keselamatan warga menjadi prioritas. Kita harus beradaptasi dengan realitas baru iklim,” tegas salah satu pejabat Kementerian Kesehatan Jepang.
Heat Stroke: Ancaman Sunyi yang Mematikan
Heat stroke bukan sekadar pusing atau lelah. Ini adalah kondisi medis serius yang bisa merusak organ vital dalam hitungan jam.
Jika terlambat ditangani, nyawa bisa melayang.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), panas ekstrem telah merenggut hampir setengah juta nyawa setiap tahun antara 2000 hingga 2019.
Gelombang panas di Jepang kini menjadi peringatan global.
Bahwa musim panas tak lagi identik dengan festival kembang api dan liburan pantai, melainkan ancaman nyata yang bisa merenggut ribuan nyawa. (A46)