Oleh Rudi Wu SPd, SH, SAg, MH
Rohaniawan Dharma Duta
Indonesia Sumatera Utara
Namo Buddhaya, Sukhi Hontu dan Salam Bahagia
Manajemen bukan hanya seni mengatur dunia luar, tetapi juga batin. Dalam Buddhisme, ini tampak pada pengelolaan cetanā, niat yang menuntun pikiran dan perbuatan. Dengan menyadari serta mengarahkannya, kita sesungguhnya sedang menata karma dan menyiapkan jalan menuju kedamaian.
Dalam tradisi Buddhisme, pembahasan tentang karma tidak dapat dilepaskan dari konsep cetanā, yakni niat atau dorongan batin yang mendasari setiap tindakan. Buddha menegaskan dalam Anguttara Nikāya 6.63: “Cetanāhaṃ bhikkhave kammaṃ vadāmi. Cetayitvā kammaṃ karoti kāyena vācāya manasā.” — “Wahai para bhikkhu, Aku menyebut niat sebagai karma. Setelah berniat, seseorang bertindak melalui tubuh, ucapan, dan pikiran.”
Kutipan itu menegaskan bahwa hakikat karma bukanlah sekadar gerakan jasmani atau ucapan yang terdengar, melainkan arah batin yang mendorongnya.
Dalam Abhidhamma Piṭaka, cetanā dijelaskan sebagai salah satu cetasika atau faktor mental yang selalu hadir dalam setiap momen kesadaran. Namun tidak semua niat berbuah sama. Cetanā yang dilandasi keserakahan, kebencian, dan kebodohan menciptakan ikatan karmis yang membawa penderitaan.
Sebaliknya, cetanā yang bersih dari motif merugikan, dan disertai kebijaksanaan, melahirkan karma yang membebaskan. Dengan demikian, cetanā dapat dipandang sebagai kemudi yang menentukan arah perjalanan batin seseorang.
Bagi umat Buddhis, persoalan bukanlah meniadakan niat, melainkan bagaimana mengelola dan memurnikannya. Hidup tanpa niat berarti hidup tanpa kesadaran, sedangkan hidup dengan niat yang terarah memungkinkan seseorang berjalan di jalur kebajikan.
Kesadaran penuh (sati) menjadi alat penting untuk menimbang niat yang muncul, menyaring dorongan yang merugikan, dan menumbuhkan niat yang sejalan dengan welas asih, kebijaksanaan, serta kebajikan.
Dalam kehidupan sehari-hari, cetanā hadir dalam setiap gerak sederhana. Niat untuk berbicara dengan lembut dapat mencegah pertengkaran dalam keluarga. Niat untuk bekerja dengan jujur menciptakan hubungan yang sehat di lingkungan sosial.
Bahkan dalam hal kecil, seperti memberi tanpa pamrih, niat itu menanamkan kebiasaan batin yang mengikis keserakahan. Melalui latihan meditasi, seseorang juga belajar menatap niat yang muncul dan lenyap, sehingga perlahan terbebas dari cengkeraman “aku” dan “milikku”.
Dengan demikian, manajemen bijak terhadap cetanā merupakan inti dari kehidupan Buddhis. Setiap niat adalah benih, dan setiap benih pasti berbuah. Bila kita menanam niat dengan penuh kebencian, buah penderitaan tak terelakkan.
Namun bila kita menanam niat dengan welas asih dan kebijaksanaan, kehidupan akan dipenuhi kedamaian. Karena itu, setiap momen adalah kesempatan untuk menata arah batin: apakah kita akan menambah rantai samsara, ataukah perlahan membebaskannya.
Buddhisme mengajarkan bahwa kita tidak dapat menghindar dari hukum karma, tetapi kita dapat belajar mengelola cetanā dengan bijaksana. Dari kesadaran itulah lahir kebebasan sejati, bukan sekadar terbebas dari perbuatan salah, melainkan terbebas dari akar penderitaan yang bersumber pada batin itu sendiri. (*)