Sinata.id – Setelah kehilangan ratusan miliar dolar dalam sepekan, Bitcoin yang dulu dijuluki “emas digital” justru terperosok ke titik terendah sejak Juni. Penurunan tajam hingga 4 persen ini membuat nilai total pasar kripto anjlok lebih dari US$600 miliar, menandai kerapuhan sektor aset digital di tengah ketegangan global dan krisis kepercayaan investor.
Dalam sepekan terakhir, mata uang kripto terbesar di dunia ini gagal mempertahankan reputasinya sebagai aset safe haven setelah kehilangan ratusan miliar dolar nilai pasar.
Pada Jumat (17/10/2025) waktu AS, harga Bitcoin anjlok hingga 4 persen ke level US$103.550 atau sekitar Rp1,71 miliar per koin, menjadi titik terendah sejak Juni lalu. Ethereum, rival terbesarnya, juga tak kalah suram. Token berlogo berlian itu jatuh di bawah US$3.700 (sekitar Rp61 juta), melorot lebih dari 25 persen dari puncaknya pada Agustus.
Baca Juga: iPhone 17 Series Laris Manis di Indonesia, Pro Max dan Cosmic Orange Jadi Favorit
Menurut data CoinGecko, total valuasi pasar kripto global kini telah menyusut lebih dari US$600 miliar atau sekitar Rp9.953 triliun hanya dalam sepekan. Meski sempat rebound tipis ke US$106.852 pada Sabtu pagi waktu Indonesia, Bitcoin masih mencatatkan pelemahan 5,5 persen dalam tujuh hari terakhir. Ether juga sedikit pulih ke level US$3.840, namun tren negatif masih membayangi.
Binance dan BNB Jadi Biang Kepanikan Pasar
Drama kripto makin panas setelah token BNB, milik raksasa bursa kripto Binance, terjun bebas hingga 11 persen pada Jumat malam. Penurunan tajam itu sempat memicu gelombang likuidasi besar-besaran di seluruh pasar. Gangguan teknis dan ketidakcocokan harga di platform Binance disebut sebagai biang kerok utama.
Analis menyebut, Binance bahkan harus menyiapkan kompensasi hampir US$600 juta (sekitar Rp9,9 triliun) untuk para penggunanya. Yoann Turpin, co-founder Wintermute, menilai kejatuhan BNB merupakan bagian dari “penyesuaian harga massal” setelah lonjakan jangka pendek di pertengahan pekan gagal berkembang menjadi pemulihan yang stabil.
Padahal, hanya dua pekan sebelumnya, Bitcoin sempat mencetak rekor baru di level US$126.251 pada 6 Oktober. Namun euforia itu tak bertahan lama. Ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China membuat pasar panik, memicu aksi jual besar-besaran senilai lebih dari US$19 miliar. Dalam 24 jam terakhir saja, lebih dari US$1,2 miliar posisi leverage terpaksa dilikuidasi menurut data Coinglass.
Raksasa Kripto Beralih ke Dunia Finansial Konvensional
Ketika harga aset digital terguncang, sejumlah perusahaan besar kripto justru memilih langkah sebaliknya: masuk ke dunia keuangan tradisional. Kraken, Circle, BitGo, dan Ripple kini berlomba mengantongi lisensi perbankan, sistem pembayaran, hingga izin kartu kepercayaan.
“Timing-nya menarik,” kata analis BTC Markets, Rachael Lucas. “Saat pasar ambruk, mereka justru mengincar legitimasi lewat jalur perbankan,” sambungnya.
Menurutnya, langkah ini bisa jadi strategi untuk mengurangi volatilitas ekstrem di sektor kripto sekaligus membangun kepercayaan publik.
Namun di sisi lain, bayang-bayang risiko global masih menghantui. Perseteruan dagang AS–China memicu efek domino ke pasar keuangan dunia. Dua korporasi besar Amerika, First Brands Group dan Tricolor Holdings, dinyatakan bangkrut, menimbulkan kekhawatiran soal potensi krisis kredit baru.
Bahkan kerugian akibat skandal keuangan di Zions Bancorp dan Western Alliance membuat pasar perbankan AS kehilangan lebih dari US$100 miliar hanya dalam sehari.
Investor Panik, Dana Mengalir Keluar
Gelombang kepanikan investor terlihat jelas. Data menunjukkan, pada Kamis (16/10/2025), investor menarik dana senilai US$593 juta dari reksa dana Bitcoin dan Ether yang terdaftar di Amerika Serikat. Rasio put-to-call untuk Bitcoin di bursa derivatif Deribit naik ke 1,33, tanda banyak investor membeli “asuransi” untuk melindungi diri dari potensi penurunan harga lebih dalam.
“Derivatif saat ini menjadi medan utama tekanan pasar,” ungkap Timothy Misir, kepala riset BRN.
“Pedagang berbondong-bondong membeli proteksi jangka pendek, membuat volatilitas meningkat tajam ke dua arah,” imbuh Misir.
Sementara itu, aset safe haven sejati seperti emas dan perak terus mencetak rekor baru. Harga kedua logam mulia itu justru menanjak di saat kripto terpuruk. Dalam sepekan hingga 12 Oktober, harga Bitcoin terjun 6,3 persen, penurunan terbesar sejak Maret lalu, dan belum juga pulih hingga kini.
Para analis menilai, kejatuhan Bitcoin kali ini bukan sekadar koreksi biasa. Matthew Hougan, Chief Investment Officer di Bitwise, menilai kripto kini berperan sebagai “burung canary di tambang batu bara”,, indikator dini dari ketegangan pasar global.
“Jika Bitcoin melemah drastis, itu menandakan ada tekanan besar di sistem keuangan dunia,” ujarnya. [zainal/a46]