Jakarta, Sinata.id – Peringatan Hari Santri Nasional (HSN) yang jatuh setiap 22 Oktober bukan hanya sekadar upacara, melainkan pengakuan negara atas peran historis para ulama dan santri dalam mempertahankan kemerdekaan. Penetapannya pada 15 Oktober 2015 oleh Presiden Joko Widodo berakar pada peristiwa bersejarah Resolusi Jihad 1945.
Tanggal HSN sengaja dipilih untuk mengabadikan momen bersejarah Resolusi Jihad yang dicetuskan oleh KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945. Saat itu, para ulama Nahdlatul Ulama berkumpul di Surabaya dan menetapkan fatwa bahwa melawan penjajah adalah fardhu ‘ain (kewajiban individu bagi setiap muslim). Resolusi inilah yang kemudian memicu semangat perlawanan rakyat dalam Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.
Gagasan untuk memiliki Hari Santri pertama kali mengemuka kuat selama masa kampanye Pilpres 2014. Tokoh kunci di balik dorongan ini adalah ulama kharismatik asal Banten, KH Matin Syarkowi.
Dalam pidatonya pada peringatan HSN 2025 PCNU Kota Serang (21/10/2025), KH Matin mengungkap perjuangannya sejak 2011 yang akhirnya berbuah dengan ditandatanganinya Piagam Perjuangan Al Fathaniyah pada 5 Juli 2014, sebagai bentuk kesepakatan untuk mendorong lahirnya HSN.
“Saya bangga, gagasan dari Banten bisa menjadi produk nasional. Ini bukti pemikiran kiai Banten berpikir untuk bangsa,” ujarnya.
Di tengah refleksi sejarah, KH Matin juga menyampaikan peringatan keras mengenai krisis akhlak yang melanda generasi muda. Ia menyoroti fenomena pelajar yang berani melawan guru dan orang tua yang cenderung membenarkan anaknya meski salah.
“Kalau akhlak hilang, bangsa ini akan hancur. Orang berilmu tanpa akhlak justru menjadi sumber kehancuran,” ujarnya.
Lebih jauh, KH Matin menyatakan peran sentral pesantren sebagai benteng moral bangsa. Menurutnya, pesantren tidak hanya mencetak santri yang berilmu agama, tetapi juga menanamkan nilai cinta tanah air dan kepedulian sosial. Ia mengaitkan konsep birrul walidain (berbuat baik kepada orang tua) dengan kecintaan pada negara.
“Mencintai negeri ini sama pahalanya dengan berbakti kepada orang tua… Maka mencintai negeri dan pemerintah yang sah adalah bagian dari ibadah,” tuturnya.
Kini, HSN telah menjadi simbol sinergi antara keagamaan dan nasionalisme, serta momentum untuk memperkuat peran pesantren dalam melahirkan generasi yang berakhlak, berilmu, dan cinta tanah air. (A58)