Oleh
Ustad Tigor Harahap
“Setiap manusia pasti melakukan kesalahan. Sebaik-baik pelaku kesalahan adalah yang bertaubat.”
Saat kita mendapati manusia hanya yang baik-baik saja. Tidak ada yang bermaksiat, berbuat zhalim, dan lakukan dosa, semua suci seperti malaikat, maka mungkin kita sedang berada di surga. Bukan di dunia.
Karena kehidupan ini adalah ujian. Akan ada yang lulus dan gagal. Indikatornya sederhana, mana lebih berat antara kebaikan dan keburukan saat mizan, penimbangan.
Sebagai khalifah Allah SWT di bumi, manusia diciptakan paling sempurna. Fi ahsani taqwim. Jasmani dan rohaninya. Diberi akal untuk terus berkembang dan belajar. Dilengkapi perasaan dan emosi. Juga diberi nafsu dan hati. Jadi bisa ke kanan dan ke kiri.
Fa alhamaha fujuraha wa taqwaha. Ada perangkat yang menuntunnya berbuat baik, hati.
Namun ia juga miliki potensi berdosa dengan godaan nafsu. Dari luar ada wahyu dan dakwah. Di seberangnya, setan dengan segala tipu daya dan pengikutnya.
Ada pun para nabi, mereka ma’shum, terjaga dari dosa. Tidak masuk dalam pembahasan.
Lalu mengapa nafsu dan setan diciptakan? Itulah ujiannya. Jika tidak ada nafsu dan setan, maka tidak akan ada tantangan. Semua lempang. Bagaimana kita menjalani kehidupan ini dengan meraih sebanyak-banyaknya kebaikan dan menghindari sebisa mungkin perbuatan dosa.
Dengan rahmatNya, Allah SWT memberi kita tuntunan wahyu melalui para rasulNya. Semua panduan hidup ada di situ. Apa yang kita kerjakan, ucapkan, lihat dan dengar, bisa menjadi kebaikan.
Dan bagaimana bila kesalahan terlanjur dilakukan. Bisakah diperbaiki? Tentu kesempatan selalu terbuka. Berapa pun kesalahan seorang hamba, meski ‘ananassama’, setinggi langit, Allah SWT selalu membuka pintu untuknya.
Pintu itu yang kita sebut dengan “taubat.” Selama benar-benar taubat, mengakui, menyesali, memohon ampun, dan berjanji tidak mengulangi, Allah SWT akan menggugurkan dosa-dosanya. Bersih kembali. Bukan ditebus orang
lain. Bukan pula dengan menyakiti diri sendiri. Tapi dengan taubat nasuha. Diiringi perbuatan baik setelahnya.
Wa atbi’is sayyi’atal hasanata tamhuha. “Dan iringi keburukan dengan kebaikan niscaya (kebaikan) akan menghapus keburukan.”
Kecuali dosa yang berhubungan dengan hak orang lain. Maka ada tambahan syarat taubat diterima, yakni mengembalikan hak orang tersebut. Nangis boleh, hutang tetap dibayar. Minta maaf jadi keharusan. Bila tidak, urusan akan lanjut sampai persidangan akhirat.
Mungkin dua titik pada huruf “ta” telah mewakili dua sisi jiwa manusia. Ada kebaikan dan keburukan. Mengingatkan kita agar tidak merasa selalu benar dan suci.
Justru, harus berani mengakui kesalahan. Melihat ke dalam untuk muhasabah diri. Sebab sudah menjadi kodrat manusia bisa salah. Dan bagian dari rahmat Allah SWT selalu membuka pintu taubatnya.
Mari kita kembali ke huruf “ta,” taubat. Nastaghfirullah min jami’idzzunubi wa natubu ilaih. (*)