Pematangsiantar, Sinata.id – Sidang perceraian nomor 101/Pdt.B/2025/PN Pematangsiantar kembali digelar dengan agenda pembacaan eksepsi dan jawaban dari pihak tergugat, JRS. Dalam persidangan yang dipimpin Majelis Hakim Rinding Sambara bersama dua hakim anggota, Kristanto Siagian dan Johanes Haholongan, tergugat menilai gugatan yang diajukan istrinya, HR, masih terlalu dini untuk diproses.
Melalui tim kuasa hukum Pondang Hasibuan, SH MH, dan Ferry SP Sinamo, SH MH, pihak tergugat menegaskan bahwa dasar gugatan tidak mencerminkan upaya serius mempertahankan rumah tangga.
Mereka menjelaskan bahwa pertengkaran baru terjadi pada Agustus 2025, sementara gugatan langsung didaftarkan pada 17 September 2025. Menurut tergugat, dinamika tersebut masih merupakan persoalan umum dalam rumah tangga dan bukan alasan kuat untuk memutuskan sebuah pernikahan.
Dalam pokok jawaban, tergugat membantah sejumlah tuduhan yang disampaikan penggugat, mulai dari persoalan keuangan, penyebab pertengkaran, hingga dugaan keterlibatan pihak ketiga.
Pihak tergugat juga menyatakan bahwa hubungan suami istri masih berlangsung hingga 2025 dan tidak terdapat alasan hukum yang memenuhi syarat perceraian sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Berdasarkan keseluruhan argumentasi, tergugat meminta majelis hakim untuk menerima eksepsi, menyatakan gugatan prematur, serta memutuskan gugatan tidak dapat diterima (NO).
Usai persidangan, kuasa hukum tergugat memberikan pernyataan tegas terkait landasan moral dan religius dari posisi kliennya yang juga berstatus seorang penatua gereja (Sintua).
Pondang Hasibuan mengatakan, dalam ajaran Kristen, perceraian tidak dibenarkan kecuali karena perjinahan. Ia menilai gugatan yang didorong oleh pertengkaran sepele tidak memiliki dasar teologis maupun moral.
“Dalam kekristenan, perceraian tidak dikenal kecuali karena perjinahan. Firman Tuhan secara tegas mengatakan: apa yang dipersatukan Allah, manusia tidak boleh menceraikannya. Jadi ketika gugatan diajukan hanya karena pertengkaran sepele, itu bukan dasar yang dibenarkan oleh Alkitab,” ujar Pondang.
Menurutnya, emosi sesaat tidak dapat dijadikan alasan untuk mengakhiri rumah tangga yang telah diikrarkan di hadapan Tuhan.
“Tidak ada satu ayat pun yang mendukung perceraian karena sakit hati sementara atau perbedaan pendapat. Kalau alasan yang dipakai rapuh, itu namanya bukan mencari solusi, tapi melarikan diri dari komitmen yang sudah diikrarkan di hadapan Tuhan,” ujarnya.
Pondang menegaskan bahwa pernikahan merupakan komitmen rohani yang harus dipertahankan, sehingga gugatan yang tidak berbasis pada pelanggaran berat dianggap bertentangan dengan ajaran iman dan nilai sosial.
“Menggugat cerai tanpa dasar perjinahan sama saja menantang ketetapan Tuhan. Gereja tidak mengakui perceraian seperti itu, dan menurut kami majelis hakim pun perlu mempertimbangkan aspek sosial dan moral tersebut,” tambahnya.
“Klien kami berpegang pada ajaran Kristen bahwa pernikahan harus dipertahankan. Karena itu gugatan ini bukan hanya prematur menurut hukum, tetapi juga bertentangan dengan firman Tuhan sendiri,” pungkasnya.
Sidang perceraian ini dijadwalkan berlanjut pada Senin, 24 November 2025, dengan agenda pemeriksaan saksi dari pihak penggugat. (SN7)