Sinata.id – Fenomena jasa nikah siri mencuri perhatian publik setelah sebuah akun TikTok menawarkan layanan tersebut untuk wilayah Jakarta Timur.
Video promosi yang diunggah pemilik akun itu—mengklaim menyediakan proses pernikahan siri yang cepat dan tanpa prosedur administratif—telah menarik lebih dari 250 ribu tayangan hingga Sabtu, 22 November 2025.
Konten yang beredar luas tersebut langsung memicu kekhawatiran dari sejumlah organisasi keagamaan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyuarakan kegelisahan atas maraknya layanan pernikahan siri yang dipasarkan secara terbuka melalui media sosial.
Mereka mengingatkan bahwa meski pernikahan siri dipandang sah menurut hukum agama Islam, praktik tersebut tidak tercatat oleh negara dan karenanya tidak memiliki kekuatan hukum.
Baca juga: Isi Konten Video Viral Nabila 1 vs 7 Akhirnya Terungkap, Ini Detailnya…
Kondisi itu membuat perempuan serta anak berada dalam posisi rentan ketika terjadi persoalan rumah tangga, perceraian, atau tuntutan hak.
Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas menilai pernikahan yang tidak dicatatkan dapat menimbulkan berbagai persoalan di kemudian hari, termasuk soal kepastian hukum maupun perlindungan terhadap pasangan dan keturunannya.
“Jangan sampai perkawinan siri berakhir dengan kemudaratan, terutama terkait hak-hak perempuan dan anak,” ujarnya.
Pandangan serupa datang dari Ketua PBNU Bidang Keagamaan Ahmad Fahrur Rozi. Ia menegaskan bahwa perempuan berisiko menjadi pihak yang paling dirugikan dalam praktik nikah siri, terlebih jika prosesnya dimanfaatkan untuk kepentingan yang tidak benar.
Baca juga: Viral Penumpang Bus Ngaku Nabi di Terminal Purabaya Bungurasih
Fahrur juga menyinggung potensi penyalahgunaan layanan tersebut sebagai kedok prostitusi terselubung.
Selain sisi moral, ia mengingatkan bahwa pernikahan yang tidak dicatatkan melanggar aturan perundang-undangan. Di Indonesia, setiap perkawinan wajib didaftarkan secara resmi agar memiliki legalitas dan perlindungan hukum.
“Jika terjadi masalah, tidak ada dasar hukum yang bisa dijadikan pegangan. Semua pihak harus berhati-hati,” tegasnya.
Isu ini diperkirakan masih akan menjadi sorotan publik, mengingat tingginya keterlibatan pengguna media sosial dan semakin mudahnya akses terhadap layanan-layanan yang tidak memiliki payung hukum. (*)