Sinata.id – Istilah playing victim kembali menjadi sorotan publik setelah berbagai kasus manipulasi dalam hubungan personal marak dibahas di media sosial.
Fenomena itu disebut para ahli psikologi sebagai pola perilaku di mana seseorang terus-menerus menempatkan dirinya sebagai korban untuk menghindari tanggung jawab atau memengaruhi perasaan orang lain.
Dikutip dari sejumlah referensi psikologi seperti WebMD dan Codependency, playing victim umumnya ditandai dengan kecenderungan menyalahkan pihak lain, mencari simpati berlebihan, serta menggunakan emosi orang lain untuk memperoleh keuntungan tertentu.
Meski tak semua orang yang merasa dirugikan bersikap manipulatif, perilaku ini menjadi perhatian karena sering kali muncul secara halus dan sulit dikenali.
Dalam banyak kasus, individu yang terbiasa memainkan peran korban cenderung menolak mengakui kesalahan pribadi. Mereka melihat kegagalan sebagai hasil ketidakadilan eksternal, bukan sebagai akibat tindakan sendiri.
Situasi ini semakin rumit ketika pelaku menggunakan narasi penderitaan untuk menekan lawan bicara agar merasa bersalah.
Para ahli menyebut ciri lain yang tak kalah menonjol: kebutuhan yang besar akan empati dari orang lain, namun minim kesediaan memberikan empati yang sama.
Pola ini kerap ditemukan pada hubungan yang tidak sehat dan dapat berkembang menjadi bentuk manipulasi emosional.
Dalam konteks sosial, perilaku playing victim memiliki dampak yang luas. Hubungan personal dapat mengalami ketegangan karena pasangan atau teman merasa terus-terusan dipaksa menanggung rasa bersalah.
Di lingkungan kerja, konflik kecil dapat berubah menjadi drama berkepanjangan akibat sikap defensif dan kecenderungan melempar kesalahan.
Dampak psikologis bagi pelaku juga tidak ringan. Kebiasaan memosisikan diri sebagai korban membuat seseorang sulit berkembang karena menolak proses refleksi diri.
Pada tingkat tertentu, pola ini dapat memicu ketergantungan emosional, hilangnya rasa percaya diri, hingga meningkatnya stres akibat pola pikir negatif yang terus berulang.
Dalam jangka panjang, perilaku playing victim dapat menciptakan lingkungan yang tidak sehat. Ketika masalah tidak dihadapi secara rasional, peluang penyelesaian semakin kecil dan hubungan sosial mudah retak.
Para ahli menyarankan pentingnya kesadaran diri, pengelolaan emosi, serta kesediaan untuk mengakui peran pribadi dalam setiap konflik agar pola destruktif ini dapat dihindari. (*)