Oleh: Basrin A Nababan
Ketua DPC PIKI Pematangsiantar
Tragedi kemanusiaan dan kerusakan infrastruktur yang terjadi di kawasan Sibolga, Tapanuli Raya, hingga Aceh menjadi catatan serius bagi Pemerintah Kota Pematangsiantar. Peristiwa yang menimbulkan korban jiwa serta terputusnya akses utama tersebut menjadi peringatan bahwa kerentanan geografis harus ditangani dengan kebijakan mitigasi bencana yang kuat.
Dalam konteks visi Wali Kota Pematangsiantar melalui slogan CS KRAS khususnya pilar “Sehat”, Dewan Pimpinan Cabang Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (DPC PIKI) Pematangsiantar menilai definisi sehat bukan hanya sebatas kesehatan fisik masyarakat, melainkan juga kesehatan tata kelola kota agar siap menghadapi bencana. Kota yang masih berkutat pada persoalan banjir berulang disebut sebagai kota yang belum pulih secara sistemik.
DPC PIKI menyampaikan tiga fokus tuntutan kebijakan. Pertama, alokasi anggaran Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) harus ditetapkan proporsional berdasarkan risiko, bukan sekadar penghematan angka. PIKI menegaskan bahwa efisiensi APBD harus berbasis kajian risiko-manfaat agar tidak melemahkan kesiapsiagaan bencana. “Anggaran BPBD harus menjadi investasi keselamatan, bukan pos yang dikorbankan,” tegas PIKI.
Kedua, PIKI menyoroti kinerja Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) khususnya terkait pemeliharaan drainase. Banjir yang terus berulang dianggap sebagai indikator kurangnya perawatan infrastruktur. PIKI mendesak adanya KPI berbasis data serta audit independen atas pengerukan drainase guna memastikan tata kelola berjalan sesuai standar.
Ketiga, PIKI meminta pemerintah melakukan kajian ulang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dengan mengutamakan daya dukung ekologis jangka panjang. Pengerasan lahan dan minimnya area resapan dianggap sebagai pemicu banjir dan kerusakan lingkungan. Penegakan aturan zonasi dinilai wajib agar ruang hijau tetap menjadi paru-paru kota dan sistem serapan air berfungsi optimal.
PIKI menekankan bahwa momentum pascabencana di daerah sekitar Sumatera seharusnya menjadi alarm bagi Pematangsiantar untuk memperkuat mitigasi dan adaptasi bencana. Implementasi komitmen “Pematangsiantar Sehat” hanya akan berarti bila diwujudkan melalui kebijakan nyata di lapangan.
Dengan menguatkan anggaran BPBD, memperbaiki kinerja PUTR, serta mempertegas arah RTRW yang berwawasan ekologis, Pematangsiantar diyakini mampu berdiri lebih tangguh menghadapi risiko bencana. Inilah jalan untuk melindungi warga dan menjadikan Pematangsiantar benar-benar Sehat, bukan hanya sebagai slogan – tetapi sebagai kenyataan yang dirasakan masyarakat.[A27].