Pematangsiantar, sinata.id – Komisi B DPRD Provinsi Sumatera Utara mendorong Gubernur Sumut menetapkan harga jual ubi kayu bagi pabrik tapioka di daerah tersebut.
Usulan ini mencuat dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama perusahaan pabrik tapioka, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan ESDM, serta Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumut, pada Rabu, 30 April 2025.
Rapat dipimpin langsung Ketua Komisi B Sorta Ertaty Siahaan, didampingi Wakil Ketua Frans Dante Ginting, serta anggota Komisi B, Manaek Hutasoit, dan Gusmiyadi.
Anggota Komisi B, Gusmiyadi, menjelaskan bahwa pihaknya merekomendasikan agar pemerintah provinsi melalui gubernur mengambil langkah tegas dalam penetapan harga.
Hal itu dinilai penting guna menghindari polemik antara pabrik dan petani yang kerap terjadi dalam pertemuan-pertemuan sebelumnya.
“Penetapan harga ini menjadi justifikasi, karena dalam setiap rapat, banyak sekali alasan subjektif yang disampaikan pihak pabrik. Mulai dari kualitas hingga masa panen, dan semua itu belum tentu dapat diverifikasi oleh petani,” ujar Gusmiyadi.
Ia menambahkan bahwa selama ini petani tidak memiliki akses untuk mengetahui standar kualitas ubi yang ditetapkan pabrik.
“Apa yang disampaikan oleh pabrik bisa jadi sepihak. Agar diskusi tidak terus-menerus saling menyalahkan, maka kami dorong gubernur untuk menetapkan harga dengan dasar kajian pemerintah,” tegasnya.
Komisi B menilai langkah penetapan harga oleh pemerintah seperti yang telah diterapkan di Provinsi Lampung dapat menjadi solusi adil bagi petani maupun industri pengolahan tapioka di Sumatera Utara.
Sebelumnya, pemerintah agaknya belum sepenuhnya meningkatkan kesejahteraan petani singkong di Siantar-Simalungun, Sumatera Utara. Masalah utama adalah selisih harga jual yang ditetapkan PT Bumi Sari Prima (Rp1.050/kg) dengan harga acuan Kementerian Pertanian (Rp1.350/kg).
Kementan telah menetapkan harga pembelian singkong tersebut sejak 31 Januari 2025 untuk melindungi petani, namun implementasinya belum optimal di lapangan.
Petani seperti Junaidi di Simalungun mengeluh keuntungan tipis, produktivitas lahan menurun (25 ton/ha), dan pembayaran panen yang sering terlambat (2 minggu–1 bulan). Keluhan ini telah berlangsung lebih dari 4 tahun, katanya awal Mei 2025 lalu.
PT Bumi Sari Prima pernah dikonfirmasi melalui Humas Herbet Purba, belum menanggapi keluhan petani. Sementara itu, Kepala Dinas Ketahanan Pangan setempat, Pardamean Manurung, menyatakan ketidakstabilan harga di lapangan dan menyatakan belum mengetahui secara detail harga acuan dari Menteri Pertanian. (*)