Pematangsiantar, Sinata.id – Peristiwa melintasnya sebuah truk tronton berukuran besar bermuatan material besi di kawasan inti Kota Pematangsiantar pada Selasa, 8 Juli 2025, mengundang perhatian publik. Kendaraan bermuatan berat tersebut diketahui menuju lokasi pembangunan Gedung DPRD Kota Pematangsiantar, meskipun kawasan tersebut secara hukum merupakan zona larangan bagi kendaraan bertonase besar tanpa izin khusus.
Aktivitas truk dengan 22 roda itu menjadi sorotan karena bertentangan dengan ketentuan lalu lintas sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pada Pasal 169 ayat (1) dan (2), disebutkan bahwa kendaraan yang melebihi kelas jalan atau memasuki wilayah terbatas wajib memiliki izin resmi dari otoritas terkait.
Ironisnya, meskipun pelanggaran tersebut terjadi secara nyata dan terekam oleh masyarakat, hingga kini belum terlihat tindakan tegas dari aparat kepolisian. Kasat Lantas Polres Pematangsiantar, Iptu Friska Susana, mengaku belum menerima laporan resmi mengenai pelanggaran tersebut. “Terima kasih atas informasinya. Kami akan tindak jika kendaraan semacam itu kedapatan masuk kota,” ujarnya singkat, saat dikonfirmasi pada Kamis, 10 Juli 2025 lalu, dan menyebut peristiwa ini sebagai bentuk “kecolongan.”
Sikap serupa ditunjukkan oleh Dinas Perhubungan Kota Pematangsiantar. Kepala Bidang Perhubungan Darat, Agresia, menyatakan tidak mengetahui adanya kendaraan tronton yang melintas di jalur inti kota menuju Gedung DPRD. Padahal, kawasan tersebut merupakan wilayah yang diberlakukan pembatasan lalu lintas kendaraan berat berdasarkan regulasi teknis pengendalian muatan.
Sementara itu, proyek pembangunan Gedung DPRD yang dikerjakan oleh CV Bukit Sion dengan anggaran sebesar Rp6,59 miliar dari APBD Tahun Anggaran 2025 tersebut, semakin menuai kontroversi. Bukan hanya dari sisi lalu lintas, tetapi juga terkait proses pengadaan proyek yang dinilai sarat kejanggalan.
Legislator Mayoritas Diam, Hanya Satu yang Bersikap
Dari 30 anggota DPRD Kota Pematangsiantar, hanya satu yang secara terbuka menanggapi persoalan ini. Tongam Pangaribuan, anggota Komisi 3 DPRD, menyampaikan desakan agar aparat kepolisian bertindak sesuai aturan. “Jika memang regulasi melarang truk masuk ke inti kota, maka polisi harus bertindak tanpa tebang pilih,” tegasnya saat ditemui di ruang Komisi 3 pada 14 Juli 2025.
Namun Ketua Komisi 3 DPRD, Cindira, yang secara fungsional memiliki tanggung jawab langsung dalam pengawasan mitra kerja seperti Dinas Perhubungan, justru memilih tidak memberikan komentar meskipun telah dihubungi oleh wartawan. Sikap bungkam ini menambah kekecewaan masyarakat yang mengharapkan keberpihakan wakil rakyat terhadap aturan hukum.
Proyek pembangunan ini merupakan bagian dari program “Penyelenggaraan Bangunan Gedung di Wilayah Kabupaten/Kota” di bawah naungan Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR). Sayangnya, ketidakjelasan sikap dari otoritas pengawasan membuat publik mempertanyakan integritas proses pembangunan tersebut.
Dugaan Konflik Kepentingan dan Pelanggaran Etika Pengadaan
Keprihatinan masyarakat tidak berhenti pada pelanggaran lalu lintas saja. Informasi yang beredar di kalangan penyedia jasa konstruksi dan pemerhati anggaran publik menyebutkan adanya dugaan pengaturan atau “penggiringan” pemenang dalam proses tender proyek Gedung DPRD.
Dugaan ini menguat karena indikasi bahwa pemenang proyek telah ditentukan sebelum proses lelang secara resmi dibuka. Jika benar, maka hal tersebut mencederai asas transparansi, keadilan, dan akuntabilitas yang menjadi prinsip utama dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah, sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021.
Proyek dengan nilai miliaran rupiah ini semestinya menjadi ajang kompetisi terbuka antarpenyedia jasa konstruksi untuk mendapatkan hasil terbaik dan efisien bagi pembangunan daerah. Namun, jika proses pengadaannya telah direkayasa sejak awal, maka dampaknya bukan hanya menurunkan kualitas proyek, tetapi juga membuka ruang bagi praktik korupsi dan pemborosan anggaran.
Praktik semacam ini bukan semata-mata pelanggaran etika, melainkan dapat masuk dalam ranah pelanggaran hukum yang berdampak pada kerugian keuangan negara. Oleh karena itu, transparansi dalam proses tender serta pengawasan melekat dari aparat penegak hukum dan lembaga legislatif menjadi mutlak diperlukan.
Kepercayaan Publik Tergerus
Fenomena diamnya sebagian besar legislator serta lambannya respons aparat terhadap pelanggaran yang terjadi justru memunculkan preseden buruk dalam penegakan aturan. Ketika pelanggaran dilakukan atas nama proyek pemerintah, khususnya proyek lembaga legislatif itu sendiri, maka keberpihakan terhadap hukum seolah menjadi fleksibel.
Padahal, sebagai pemegang mandat rakyat, baik anggota dewan maupun aparat penegak hukum memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga integritas sistem hukum dan tata kelola pemerintahan. Ketika pelanggaran seperti ini tidak ditindak secara tegas, maka kepercayaan publik terhadap institusi-institusi tersebut akan terkikis.
Kasus masuknya truk trailer ke wilayah inti Kota Pematangsiantar demi kepentingan proyek Gedung DPRD menjadi potret buram penegakan hukum dan tata kelola pemerintahan daerah. Di saat masyarakat menuntut kepatuhan terhadap regulasi, justru terjadi pembiaran terhadap pelanggaran yang dilakukan atas nama pembangunan lembaga legislatif itu sendiri.
Jika tidak segera ditangani secara serius dan transparan, maka persoalan ini bukan hanya menjadi peristiwa lalu lintas biasa, melainkan bagian dari potensi korupsi struktural yang harus diusut tuntas demi menjaga marwah demokrasi lokal dan keberlanjutan pembangunan yang bersih. (*)