Sinata.id – Pajak merupakan instrumen vital yang menopang pendapatan negara. Melalui penerimaan pajak, pemerintah membiayai layanan publik, membangun infrastruktur, serta menjaga keberlangsungan administrasi negara. Dalam konsep idealnya, pajak berfungsi sebagai wujud partisipasi rakyat untuk kemaslahatan bersama.
Namun, sejarah mencatat, ketika pungutan pajak berubah menjadi beban yang melampaui batas kewajaran—diterapkan secara timpang atau bahkan dikelola dengan cara koruptif—instrumen fiskal ini dapat menjadi faktor destruktif yang melemahkan fondasi negara.
Dari keruntuhan Kekaisaran Romawi hingga krisis modern yang dialami Yunani, pola yang sama kerap muncul: ketidakadilan pajak menggerus kepercayaan rakyat, memicu instabilitas, dan pada akhirnya menggoyahkan legitimasi kekuasaan.
Berikut rangkuman lima peristiwa bersejarah yang menunjukkan bagaimana pajak yang memberatkan rakyat dapat berujung pada kehancuran negara, dihimpun Sinata.id dari berbagai sumber pada Jumat, 8 Agustus 2025.
1. Kekaisaran Romawi: Pajak Tinggi di Penghujung Kejayaan
Pada puncak kekuasaannya, Kekaisaran Romawi dikenal memiliki sistem perpajakan yang terstruktur dan efisien, menopang pembangunan jalan raya, akuaduk, serta fasilitas umum. Namun, memasuki abad ke-3 Masehi, situasi berubah.
Krisis ekonomi, perang panjang melawan suku barbar, dan membengkaknya biaya birokrasi memaksa pemerintah menaikkan pungutan pajak secara signifikan. Petani kecil menjadi korban terbesar, diwajibkan membayar pajak tunai dan pajak hasil bumi, bahkan saat gagal panen.
Tekanan ini memicu eksodus penduduk dari lahan pertanian, menurunkan produksi pangan, dan menyebabkan kelaparan. Sejarawan Michael Rostovtzeff menilai, “Pajak yang menindas dan kemerosotan moral masyarakat mempercepat kehancuran ekonomi Romawi.”
Saat serangan barbar memuncak pada abad ke-5, dukungan rakyat terhadap negara telah runtuh. Keruntuhan Kekaisaran Romawi Barat pada tahun 476 M menjadi bukti bahwa beban pajak yang berlebihan dapat mengikis kekuatan sebuah imperium.
2. Prancis Menjelang Revolusi 1789: Ketidakadilan yang Meledakkan Amarah
Menjelang akhir abad ke-18, Prancis menghadapi krisis fiskal serius. Perang berlarut, termasuk keterlibatan dalam Perang Kemerdekaan Amerika, menguras kas negara. Sementara itu, istana Raja Louis XVI tetap mempertahankan gaya hidup mewah.
Sistem pajak kala itu sangat timpang: bangsawan dan gereja yang termasuk kelas First Estate dan Second Estate hampir bebas dari pungutan, sementara rakyat di Third Estate menanggung pajak tanah, pajak garam, dan berbagai beban lain.
Ketidakadilan ini memicu Sidang États Généraux pada Mei 1789, yang bukannya menyelesaikan masalah justru menjadi awal Revolusi Prancis. Penyerbuan Bastille pada 14 Juli 1789 menandai runtuhnya monarki absolut. Sejarawan Albert Soboul menegaskan, “Pajak yang tidak adil adalah katalis utama revolusi terbesar dalam sejarah modern.”
3. Kekaisaran Ottoman: Pajak Sebagai Alat Penindasan
Pada masa kejayaannya, Kekaisaran Ottoman menguasai wilayah luas dari Eropa Timur hingga Afrika Utara. Namun, pada abad ke-17 dan ke-18, kebijakan perpajakan yang keliru mempercepat kemundurannya.
Salah satunya adalah sistem tax farming, di mana hak pemungutan pajak diberikan kepada pihak swasta atau pejabat lokal yang membayar uang muka kepada pemerintah. Demi meraih keuntungan pribadi, para pemungut ini kerap menaikkan tarif pajak secara sepihak.
Kondisi tersebut menghancurkan sektor pertanian, mendorong perpindahan penduduk dari desa ke kota, dan memicu pemberontakan di berbagai wilayah. Lemahnya ekonomi akibat pajak berlebihan menjadi salah satu faktor yang mempercepat bubarnya Kekaisaran Ottoman pasca-Perang Dunia I.
4. Dinasti Qing di Tiongkok: Pajak Tinggi dan Pemberontakan Taiping
Abad ke-19 menjadi masa suram bagi Dinasti Qing. Ledakan populasi, krisis pangan, dan korupsi di tingkat lokal membuat beban pajak resmi—yang sudah tinggi—ditambah pungutan liar dari pejabat daerah.
Rakyat yang terdesak akhirnya bangkit melawan. Pemberontakan Taiping (1850–1864) yang dipimpin Hong Xiuquan menewaskan 20 hingga 30 juta jiwa, menjadikannya salah satu perang saudara paling mematikan dalam sejarah.
Kekacauan ini meruntuhkan kekuatan Qing hingga akhirnya kekaisaran tumbang pada 1912. Sejarawan Jonathan Spence menyebut, “Kebijakan pajak yang korup dan menindas menjadi akar dari bencana nasional tersebut.”
5. Yunani Modern: Krisis Utang dan Lonjakan Pajak
Meski tidak mengalami kehancuran fisik, Yunani menjadi contoh kontemporer dari dampak pajak tinggi di tengah krisis ekonomi.
Krisis utang yang memuncak pada 2008 memaksa pemerintah menerima bailout dari Uni Eropa dan IMF. Sebagai konsekuensi, kebijakan penghematan ekstrem diberlakukan: pajak penghasilan, pajak properti, dan PPN melonjak tajam, sementara belanja publik dipangkas.
Tingkat pengangguran mencapai 27 persen pada 2013, memicu gelombang protes di Athena. Kebijakan tersebut dinilai lebih berpihak pada kepentingan kreditur internasional dibanding kesejahteraan rakyat.
Kelima contoh ini menunjukkan bahwa kekuatan militer atau politik tidak menjamin kelanggengan sebuah negara. Kepercayaan rakyat—yang salah satunya ditentukan oleh keadilan pajak—menjadi faktor krusial dalam menentukan masa depan sebuah pemerintahan. (*)