Oleh: Rudi Wu S.Pd, S.H, M.H, S.Ag
Namo Buddhaya dan Salam Sejahtera Semuanya
Dalam tradisi Buddhis Asia, khususnya di kalangan umat Mahayana dan Theravada, terdapat praktik khusus yang dilakukan menjelang bulan “Chit Guek Pua” (sekitar Juli kalender lunar) untuk mendoakan orang yang telah meninggal.
Dalam budaya Tionghoa, praktik ini dikenal dengan istilah “Pho Tho” atau “Pelimpahan Jasa Kebajikan”, dan dalam bahasa Pāli disebut “Pattidāna”, bertujuan untuk menyalurkan kebajikan yang telah dilakukan oleh orang hidup kepada mereka yang telah tiada, terutama roh yang terlahir sebagai makhluk “peta” (roh kelaparan/gentayangan).
Dalam ajaran Buddha, tercatat di “Tirokuṭṭa Sutta”, bahwa makhluk yang telah meninggal dapat merasakan manfaat kebatinan dari kebajikan yang didedikasikan dengan pikiran tulus.
Namun, kebajikan ini tidak dipindahkan secara fisik, melainkan melalui kebahagiaan batin (anumodanā) yang muncul pada batin penerima, yakni turut bersukacita/berbahagia, yang menjadi sebab timbulnya kamma baik baru (psikologis-spiritual).
Maka jelas hal tersebut hanya akan terjadi, jika terpenuhi syarat-syarat, yakni:
1. Orang hidup melakukan kebajikan (dana, sila, bhavana).
2. Kebajikan diingat dan dipersembahkan kepada yang meninggal.
3. Roh yang dituju merasa sukacita (mudita) dan mendapat manfaat dari kebahagiaan tersebut.
Senyogianya, pelimpahan jasa mengajarkan sifat welas asih (karuṇā) dan menghindarkan keyakinan keliru bahwa pahala dapat berpindah/ ditransnfer dengan otomatis tanpa tindakan realita dan keterlibatan batin penerima.
Moment Pho Tho, kerap dilanjuti dengan ritual “Chau Thu”/”Penyeberangan Arwah”, dilakukan pada hari ketujuh sejak kematian dan berlangsung tujuh kali.
Praktik tersebut dinyakini mampu membantu roh keluar dari samsara menuju alam yang lebih bahagia, bahkan kelahiran di Tanah Suci (Sukhāvatī). Juga dikenal dengan sebutan “Ullambana”, yang terinspirasi dari kisah bhiksu Maudgalyāyana dalam menyelamatkan ibundanya dari alam neraka.
Ritual Chau Thu meliputi pembacaan sutra (Amitābha Sūtra dan Kṣitigarbha Sūtra), mantra penyeberangan, persembahan makanan dan dupa, serta pelimpahan jasa.
Perlu diketahui, makna ritual Pho Tho maupun Chau Thu sejatinya sama, keduanya mengunkapkan prinsip hukum sebab-akibat, sebab musabab dan sebab berkelanjutan.
Dalam hal ini, dimana, kondisi roh/arwah bergantung pada kondisi batin masing-masing. Kedua aktivitas diatas mengisaratkan perwujudan nilai sosial dan rasa bakti antar-generasi.
Secara praktis, kedua ritual tersebut saling melengkapi. Pelimpahan jasa memberi landasan doktrin logis, sedangkan penyeberangan arwah memberikan dimensi budaya dan emosional. Keduanya mendorong umat untuk berbuat kebajikan nyata, membantu transformasi batin arwah, dan menepis anggapan tahyul bahwa pahala bisa berpindah secara instan hanya lewat ritual.
Ajaran Buddha menegaskan setiap makhluk adalah pemilik kamma masing-masing (atta hi attano nātho, diri adalah pelindung bagi diri sendiri). Tindakan spiritual semata bersifat kondisional, bukan jaminan mutlak. Roh yang semasa hidup berbuat kebajikan akan lebih mudah terhubung dengan jasa yang dilimpahkan.
Singkat kata, Pho Tho maupun Chau Thu bukan sekadar ritual, melainkan perwujudan nyata akan sifat cinta kasih, welas asih, dan pemahaman mendalam dalam memperkuat hubungan dengan semua makhluk melampaui batas kehidupan dan kematian. Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta. Sadhu, Sadhu, Sadhu! (*)
Penulis adalah Ketua DPD RDDI
(Rohaniawan Dharma Duta Indonesia)
Sumatera Utara