Pematangsiantar, Sinata.id – Anggota Komisi VII DPR-RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Bane Raja Manalu tampil memperjuangkan pembangunan di daerah konstituennya, Kota Pematangsiantar dan Kabupaten Simalungun.
Hal itu dilakukan Bane Raja Manalu pada Rapat Kerja Komisi VII DPR-RI dengan Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana dan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang, Rabu 3 September 2025 di Senayan, Jakarta.
Kepada Menteri Pariwisata, Bane mengatakan, Kota Pematangsiantar dan Kabupaten Simalungun dahulu merupakan pusat peradaban.
Namun saat ini, pembangunan di dua daerah tersebut, mulai terabaikan, bila dibandingkan dengan sejumlah daerah kawasan Danau Toba lainnya. Hal itu disampaikan Bane terkait perkembangan pariwisata di kawasan Danau Toba.
Sebut Bane, destinasi wisata tidak akan dikunjungi wisatawan bila infrastruktur dan konektivitas antar kawasan, tidak baik. Namun perbaikan maupun peningkatan infrastruktur di kawasan destinasi belum terlihat jelas di negeri ini.
“Saya tidak melihat penjelasan lebih detail soal peningkatan infrastruktur dan konektivitas. Alokasinya berapa? Dimana saja kalau boleh kita tahu. Sepuluh destinasi prioritas ini yang mana, biar kita tahu,” ujarnya.
Bila pun salah satu dari sepuluh destinasi wisata prioritas itu adalah Danau Toba, Bane meminta Menteri Pariwisata untuk menjelaskan daerah kawasan Danau Toba yang mana menjadi prioritas.
Karena di kawasan Danau Toba, ada daerah yang tertinggal pembangunan infrastrukturnya. Seperti Kota Pematangsiantar dan Kabupaten Simalungun, yang dahulu merupakan pusat peradaban.
“Kalau misalnya Danau Toba, saya juga pengen tahu Danau Toba yang mana
nih? Kalau kampungnya Pak Lamhot kan (Lamhot Sinaga, Wakil Ketua Komisi VII DPR-RI), sudah bagus banget semuanya sekarang. Sampe ke Muara saja mulus jalannya,” tandas Bane Raja Manalu.
Dicontohkan Anggota DPR-RI ini, daerah wisata Tiga Ras di Kabupaten Simalungun yang memerlukan perhatian lebih.
“Kalau misalnya Bu Menteri berkesempatan untuk pergi ke Tiga Ras misalnya. Itu salah satu jalur menuju Samosir, dan di sana itu pusat sejarah Batak Simalungun, Toba, Karo, sekaligus pusat peradaban islam dan keristen ada di sana. Jadi sejarah, budaya dan segala macamnya sangat kuat, dan itu salah satu geosite juga. Tidak hanya Samosir,” katanya.
“Ini kita mau lihat, ada alokasi yang jelas. Nah, kalau semisalnya dianggap bahwa konektivitas dan infrastruktur dibebankan kepada badan otorita yang ada, saya tidak melihat keberpihakan anggaran di situ, kalau sekedar 25 M (Rp 25 miliar), rasanya itu habis untuk gaji karyawan yang ada disana. Jadi tidak akan mungkin bisa berkontribusi besar,” pungkasnya. (*)