Pematangsiantar, Sinata.id – Pada 1 September 2025 lalu, Wali Kota Pematangsiantar Wesly Silalahi teken tuntutan pengunjuk rasa yang isinya berpotensi memunculkan masalah baru di Kota Pematangsiantar.
Terkhusus, terkait tuntutan pengunjuk rasa tentang pembatalan kenaikan nilai jual objek pajak (NJOP) 1.000 persen dan penghentian proyek pembangunan Kantor DPRD Pematangsiantar yang sedang berjalan pengerjaannya.
Pakar hukum dari Universitas Simalungun (USI) Dr Muldri Pasaribu SH MH menilai tanda tangan Wali Kota Pematangsiantar Wesly Silalahi sebagai bentuk setuju (sepakat) dengan tuntutan pengunjuk rasa tersebut, perlu ditinjau secara hukum.
Bila membatalkan kenaikan NJOP dan menghentikan proyek pembangunan Kantor DRPD, menjadi kebijakan, kemudian dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (PUU), maka kebijakan itu bisa saja dipermasalahkan. Lalu, jika nantinya terbukti melanggar PUU, maka wali kota berpotensi dimakzulkan.
“Sekarang dia mau membatalkan kenaikan NJOP 1.000 persen, (kenaikan NJOP) ini tahun berapa? Tahun 2021 kemarin. (Sejak tahun) 2021 orang sudah banyak bayar loh, gimana kalau orang yang sudah bayar menuntut,” ucap Muldri Pasaribu, yang juga Wakil Direktur Pasca Sarjana USI.
Menurut Muldri, kebijakan wali kota bisa diuji dengan menggunakan hak angket (penyelidikan) DPRD. Jika terbukti melanggar peraturan, maka kebijakan bisa dibatalkan. Bahkan dapat menjadi dasar pemakzulan wali kota.
“Kalau kebijakan yang dikeluarkan itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kebijakannya bisa menjadi objek angket. Ujungnya bisa sampai pemakzulan, karena APBD itu masuk ke peraturan daerah (perda),” ucapnya, Kamis 4 September 2025.
Lebih lanjut Muldri mengatakan, pers (media) yang memiliki peran penting sebagai saluran konsultatif masyarakat, diharapkan mampu menyuarakan keresahan masyarakat secara berimbang.
“Kalian (pers) bisa menjadi penyambung aspirasi masyarakat melalui pemberitaan yang berimbang, karena keresahan masyarakat di Siantar ini sebenarnya banyak,” tegasnya.
Muldri juga mengkritisi cara mahasiswa menyampaikan aspirasi yang dinilainya kurang maksimal. Ia mendorong mahasiswa untuk lebih tegas memanggil anggota DPRD, dan meminta pertanggungjawaban mereka di depan publik. (SN-15)