Sinata.id – Puluhan tahun konflik agraria di sektor perkebunan Sumatera Utara belum menemukan ujung penyelesaian. Dari dugaan penguasaan lahan tanpa Hak Guna Usaha (HGU) hingga penutupan jalan umum oleh perusahaan, persoalan ini terus memicu keresahan masyarakat.
Permasalahan yang membelit sektor perkebunan di Sumatera Utara tidak sebatas kasus perorangan, melainkan telah berlangsung sistematis dan berulang. Temuan di lapangan menunjukkan sejumlah praktik menyimpang dari aturan hukum, antara lain:
Banyak perusahaan hanya berbekal izin prinsip, namun sudah beroperasi dan menguasai lahan ratusan hingga ribuan hektare tanpa HGU.
Beberapa perusahaan memperluas penguasaan hingga di luar area HGU yang diberikan negara.
Kewajiban bermitra dengan masyarakat sebesar 20 persen dari luas HGU sebagaimana diatur regulasi kerap diabaikan.
Pemortalan jalan umum yang seharusnya menjadi milik negara justru dilakukan, sehingga membatasi akses warga.
Konflik agraria yang muncul akibat praktik tersebut dibiarkan berlarut tanpa penyelesaian nyata.
Padahal, konstitusi telah memberikan arahan jelas. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Hal ini diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA), antara lain:
Pasal 2 ayat (1): Hak menguasai atas tanah berada di tangan negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pasal 16: HGU hanya dapat diberikan atas tanah negara dengan batasan waktu dan kejelasan peruntukan.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan juga memuat ketentuan tegas, di antaranya:
Pasal 55 ayat (1): Perusahaan perkebunan yang menguasai lahan lebih dari 25 hektare wajib memiliki HGU.
Pasal 58 ayat (1): Perusahaan perkebunan wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar minimal 20 persen dari luas HGU.
Pasal 73: Dilarang menutup akses jalan umum yang menjadi fasilitas publik.
Namun, kenyataan di lapangan kerap berseberangan dengan aturan. Akibatnya, konflik berkepanjangan antara perusahaan perkebunan dengan rakyat tidak kunjung terselesaikan.
Di tengah situasi tersebut, langkah Bupati Tapanuli Tengah, Masinton Pasaribu, yang bersikap tegas terhadap persoalan agraria, menghadirkan harapan baru. Keberanian ini dinilai dapat menjadi awal penyelesaian masalah yang selama ini terabaikan.
“Negara tidak boleh lalai. Pemerintah daerah harus hadir untuk menegakkan aturan dan melindungi hak-hak rakyat,” demikian harapan masyarakat.
Keputusan Bupati Masinton Pasaribu diharapkan menjadi momentum penting untuk menghadirkan keadilan agraria, tidak hanya di Tapanuli Tengah, tetapi juga di Sumatera Utara secara menyeluruh. (A27)