Krisis politik Nepal memanas setelah Menteri Keuangan Nepal ditelanjangi dan dianiaya massa dalam aksi protes besar. Peristiwa ini menjadi simbol amarah publik terhadap korupsi, nepotisme, dan larangan media sosial yang memicu gelombang demonstrasi berdarah hingga lengsernya PM Sharma Oli.
Kathmandu, Sinata.id – Nepal diguncang krisis politik serius setelah gelombang demonstrasi besar-besaran yang dipimpin generasi muda berujung pada kekerasan. Menteri Keuangan Bishnu Prasad Paudel menjadi sasaran amukan massa, ia dikejar, dipukuli, bahkan ditelanjangi hingga hanya mengenakan pakaian dalam sebelum akhirnya diseret ke tepi sungai.
Kerusuhan ini dipicu kebijakan kontroversial pemerintah yang sempat melarang akses terhadap 26 platform media sosial, termasuk Facebook, Instagram, YouTube, dan X. Meski larangan tersebut segera dicabut, kemarahan publik yang telah lama terpendam justru semakin meluas.
Dikutip Sinata.id dari laman Al Jazeera pada Rabu (10/9/2025), aksi protes yang awalnya berlangsung damai berubah menjadi kerusuhan.
Sementara itu, rekaman yang beredar di media sosial memperlihatkan Paudel berlari panik di jalanan sebelum dijegal, dipukul, dan dianiaya oleh massa. Video lain menampilkan dirinya dipermalukan secara terbuka sebelum diarak ke sungai dengan sorakan ribuan pengunjuk rasa.
Baca Juga: Berdarah! Demonstrasi Nepal Tewaskan 22 Orang
Rumah PM Sharma Oli Dibakar
Situasi makin tak terkendali ketika demonstran membakar rumah Perdana Menteri Sharma Oli di Bhaktapur, kediaman resmi Presiden Ram Chandra Paudel, serta gedung parlemen. Asap hitam tebal dari kendaraan yang terbakar menutupi langit Kathmandu.
Menurut laporan otoritas keamanan, sedikitnya 22 orang meninggal dunia dan lebih dari 100 lainnya luka-luka akibat bentrokan dengan polisi. Aparat menggunakan gas air mata, meriam air, hingga peluru karet untuk membubarkan massa, namun justru memicu korban lebih banyak.
Di tengah tekanan publik, Perdana Menteri Sharma Oli menyampaikan surat pengunduran diri kepada Presiden pada Selasa (9/9/2025). Ia mengakui pemerintahannya gagal meredam krisis yang disebut sebagai kerusuhan paling berdarah dalam satu dekade terakhir.
“Dengan mempertimbangkan kondisi negara yang tidak kondusif, saya memilih mundur demi membuka jalan bagi solusi politik yang sesuai dengan konstitusi,” tulis Oli dalam pernyataannya.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Ramesh Lekhak juga mengajukan pengunduran diri setelah menerima kritik tajam atas cara aparat menangani demonstran.
Baca Juga: Pemicu Demo Nepal, Nepotisme dan Gaya Hidup Mewah Elit Politik di Tengah Ketimpangan Ekonomi
Akar Masalah Demonstrasi Nepal
Sejumlah analis menilai protes ini tidak hanya dipicu larangan media sosial, tetapi juga kekecewaan mendalam terhadap praktik nepotisme, korupsi, dan kesenjangan sosial.
Istilah “nepo kids” atau anak-anak pejabat yang pamer gaya hidup mewah sempat menjadi trending di media sosial Nepal.
Video dan foto yang menunjukkan kerabat pejabat berpose dengan mobil mewah, jam tangan mahal, hingga liburan ke luar negeri menambah bara amarah rakyat.
Di sisi lain, mayoritas masyarakat hidup dalam kemiskinan dengan pendapatan per kapita sekitar 1.400 dolar AS per tahun, salah satu yang terendah di Asia Selatan.
“Fenomena ‘nepo kids’ mencerminkan frustrasi publik terhadap kelas politik yang dulu hidup sederhana, kini berubah menjadi elit dengan privilese berlebihan,” ujar akademisi Yog Raj Lamichhane dari Universitas Pokhara.
Gen Z di Garda Depan
Gelombang protes ini banyak didorong oleh kelompok muda yang menamakan diri sebagai “Gerakan Gen Z”. Mereka menolak praktik korupsi, mengkritik lambatnya pembangunan, serta menuntut transparansi dalam penggunaan dana publik.
Kondisi ini diperparah dengan tingkat pengangguran pemuda yang mencapai 32,6 persen pada 2024, jauh lebih tinggi dibanding negara tetangga. Banyak generasi muda Nepal terpaksa merantau ke luar negeri demi mencari pekerjaan, membuat remitansi menjadi penyumbang lebih dari 30 persen PDB nasional.
Sejumlah pihak menilai Nepal kini memasuki fase transisi politik yang krusial. Pengacara konstitusi Dipendra Jha menyarankan dibentuknya pemerintahan sementara untuk meredakan ketegangan.
Sementara analis Crisis Group, Ashish Pradhan, menekankan pentingnya melibatkan tokoh-tokoh yang masih memiliki legitimasi di mata rakyat, khususnya generasi muda.
Wali Kota Kathmandu, Balendra Shah, yang dikenal dekat dengan kelompok muda, menyerukan agar protes tidak berkembang menjadi kekerasan lebih lanjut. “Ini adalah gerakan murni generasi muda. Kita perlu menjaga agar aspirasi mereka tidak dicemari kekerasan,” tulisnya melalui akun Facebook. (A46)