Jakarta, Sinata.id – Anggota Panja AI BKSAP DPR RI, Adde Rosi Khoerunnisa, menegaskan, perkembangan kecerdasan buatan (AI) di Indonesia sudah memasuki fase yang tidak bisa lagi diabaikan.
Ia menjelaskan, teknologi AI kini telah menjangkau berbagai sektor. Mulai dari pendidikan, ekonomi, pelayanan publik, hingga keamanan siber.
“AI memberikan manfaat yang luar biasa besar. Hampir semua sektor sudah memanfaatkannya, terutama di pendidikan, ekonomi, dan siber,” ujarnya kepada Parlementaria usai mengikuti Forum Group Discussion (FGD) mengenai perkembangan AI.
Meski demikian, Adde mengingatkan bahwa pesatnya penggunaan AI juga menuntut kehati-hatian. Menurutnya, tanpa aturan yang kuat, teknologi ini dapat memunculkan risiko yang serius. Khususnya bagi anak muda yang merupakan pengguna internet paling aktif.
“Kita juga harus memperhatikan dampak negatif yang mungkin timbul,” tandasnya.
Sebagai Anggota Komisi Pendidikan DPR RI, ia menilai bahwa regulasi yang tersedia saat ini, seperti UU ITE dan UU Pelindungan Data Pribadi, belum mampu menjawab kompleksitas persoalan yang dibawa oleh perkembangan AI.
Addemenilai, teknologi yang terus berevolusi ini memerlukan undang-undang baru yang lebih spesifik dan komprehensif mengatur aspek etika, keamanan, transparansi algoritmik, hingga perlindungan pengguna.
“Kita membutuhkan undang-undang yang secara khusus mengatur AI, bukan sekadar surat edaran atau aturan turunan,” ujarnya.
Lebih jauh, politisi Partai Golkar tersebut juga menyoroti dunia pendidikan sebagai sektor yang paling terdampak oleh teknologi kecerdasan buatan.
Dengan kebijakan wajib belajar 12 tahun, siswa sejak jenjang sekolah dasar hingga menengah kini semakin dekat dengan perangkat digital dan aplikasi berbasis AI.
“Anak-anak pasti akan berinteraksi dengan AI. Karena itu, regulasi perlu disiapkan agar tak terjadi pelanggaran seperti yang sering kita temui,” katanya.
Adde turut menyinggung kasus pengeboman di SMA 72 Jakarta, di mana pelaku memperoleh pengetahuan merakit bom melalui platform AI. Katanya, insiden tersebut harus menjadi peringatan tegas bagi pemerintah untuk memperkuat pengawasan dan meningkatkan literasi digital sejak usia dini.
“Jangan sampai teknologi yang bermanfaat ini justru dimanfaatkan secara keliru oleh anak-anak yang belum memahami risikonya,” imbuhnya.
Selain sektor pendidikan, Adde juga menyoroti ancaman AI terhadap proses demokrasi, terutama menjelang pemilu. Penyebaran hoaks, disinformasi, manipulasi gambar, dan deepfake disebut berpotensi mengganggu kualitas informasi publik bila tidak ditangani dengan regulasi yang kuat.
“Jangan sampai masyarakat menerima informasi yang tidak akurat atau menyesatkan. Ini penting agar proses pemilu tetap terjaga,” katanya.
Sementara, Panitia Kerja (Panja) AI DPR RI sendiri terus mempercepat penyusunan regulasi komprehensif untuk menjawab berbagai tantangan tersebut.
Komitmen itu kembali ditegaskan dalam FGD bertema “Mendorong Terwujudnya Regulasi dan Peraturan Komprehensif Terkait Perkembangan Artificial Intelligence (AI)” yang digelar di Gedung Nusantara III, Senayan, Jakarta, Kamis (20/11/2025).
FGD dihadiri narasumber dari Komdigi RI, BSSN, KORIKA, SAFEnet, serta sejumlah akademisi. Melalui forum tersebut, Panja AI mengumpulkan beragam pandangan mengenai peluang, risiko, hingga kebutuhan kebijakan yang harus segera disiapkan agar pemanfaatan AI di Indonesia berlangsung secara aman, etis, dan bermanfaat.
Hasil diskusi ini diharapkan menjadi landasan untuk merumuskan rekomendasi kebijakan yang menyeluruh, mulai dari keamanan siber, pelindungan data pribadi, etika penggunaan teknologi, hingga pelindungan kebebasan berekspresi.
Seluruh masukan yang dihimpun akan menjadi bagian penting dalam penyusunan regulasi AI yang adaptif dan memprioritaskan kepentingan publik. (*)
Sumber: Parlementaria