Kathmandu, Sinata.id – Nepal hingga kini masih menghadapi krisis politik paling serius dalam satu dekade terakhir. Gelombang protes yang dipimpin generasi muda, terutama kelompok yang dikenal sebagai Gen Z, pecah di berbagai kota dan berujung pada bentrokan berdarah, pembakaran gedung pemerintahan, hingga pengunduran diri Perdana Menteri Sharma Oli.
Di balik kemarahan massal itu, muncul satu istilah yang belakangan menjadi simbol perlawanan: “nepo kids”.
Apa Itu “Nepo Kids”?
Istilah nepo kids adalah merupakan singkatan dari nepotism kids, yang merujuk pada anak-anak pejabat tinggi, menteri, maupun tokoh elite politik di Nepal.
Ungkapan ini viral di media sosial beberapa minggu sebelum pecahnya aksi besar-besaran, karena masyarakat muak melihat gaya hidup mewah para keluarga elite yang dianggap tidak sejalan dengan kondisi rakyat kebanyakan.
Berbagai unggahan di platform seperti TikTok dan Instagram memperlihatkan anak-anak pejabat berpose dengan mobil mewah, jam tangan bermerek, hingga berlibur ke destinasi internasional.
Semua itu menimbulkan pertanyaan besar di tengah publik, tentang dari mana sumber kekayaan tersebut diperoleh, sementara gaji resmi pejabat negara relatif kecil?
Kemarahan semakin memuncak ketika masyarakat mengaitkan kemewahan para nepo kids dengan praktik korupsi, salah kelola dana publik, serta ketimpangan sosial yang kian melebar.
Gelombang Protes yang Berubah Menjadi Kerusuhan
Protes awalnya dipicu oleh kebijakan pemerintah yang sempat memblokir 26 platform media sosial populer, termasuk Facebook, X, Instagram, dan YouTube. Meski kebijakan itu kemudian dicabut, kemarahan publik sudah terlanjur meluas.
Demonstrasi yang dimotori anak muda segera berubah menjadi kerusuhan.
Massa membakar rumah dinas Perdana Menteri dan Presiden, menyerang gedung parlemen, hingga menargetkan sejumlah pejabat, termasuk Menteri Keuangan Bishnu Prasad Paudel yang dikejar, dianiaya, bahkan ditelanjangi di depan umum.
Hingga kini, lebih dari 20 orang dilaporkan tewas dan ratusan lainnya terluka akibat bentrokan dengan aparat.
Fenomena nepo kids dianggap sebagai wajah nyata ketidakadilan di Nepal. Negara berpenduduk 30 juta jiwa itu masih termasuk salah satu yang termiskin di Asia Selatan, dengan pendapatan per kapita hanya sekitar 1.400 dolar AS per tahun. Tingkat pengangguran pemuda mencapai lebih dari 30 persen, sementara jutaan warganya menggantungkan hidup dari bekerja di luar negeri.
Kontras dengan kenyataan pahit tersebut, gaya hidup anak-anak elite politik yang bergelimang kemewahan menciptakan jurang kepercayaan antara rakyat dan pemerintah.
“Kemarahan terhadap ‘nepo kids’ mencerminkan frustrasi generasi muda terhadap privilese politik dan korupsi yang merajalela,” kata Yog Raj Lamichhane, akademisi dari Universitas Pokhara, dikutip Sinata.id pada Rabu (10/9/2025).
Para demonstran kini menuntut pembentukan komisi investigasi independen untuk menelusuri sumber kekayaan keluarga pejabat. Selain itu, muncul desakan agar dibentuk pemerintahan transisi yang melibatkan tokoh-tokoh muda dengan kredibilitas publik.
Balendra Shah, Wali Kota Kathmandu yang populer di kalangan anak muda, bahkan menyebut aksi ini sebagai “gerakan murni Gen Z” yang menolak ketidakadilan struktural. (A46)