Pematangsiantar, Sinata.id — Alkohol telah menjadi bagian dari budaya manusia selama ribuan tahun, baik sebagai minuman rekreasional, bahan dalam upacara keagamaan, hingga komponen dalam pengobatan tradisional. Namun, pertanyaan fundamental yang sering terlontar adalah: apakah tubuh manusia benar-benar memerlukan alkohol?
Dalam tinjauan ilmiah dan medis, jawaban atas pertanyaan ini ternyata cukup tegas dan membawa dampak luas terhadap pemahaman masyarakat mengenai konsumsi alkohol.
Apakah Tubuh Memerlukan Alkohol?
Dari sudut pandang ilmu gizi dan fisiologi, tubuh manusia tidak memiliki kebutuhan esensial terhadap alkohol (etanol). Berbeda dengan nutrisi lain seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral, alkohol bukan merupakan zat yang diperlukan untuk mendukung fungsi dasar tubuh manusia. Bahkan, alkohol lebih tepat dikategorikan sebagai zat toksik dan depresan sistem saraf pusat.
Dikutip Sinata.id dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Senin, 14 Juli 2025, menegaskan bahwa tidak ada tingkat konsumsi alkohol yang sepenuhnya aman. Alkohol tidak berkontribusi terhadap proses metabolisme yang sehat, dan penggunaannya dalam jangka panjang dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan serius.
Dampak Alkohol terhadap Otak
Alkohol bekerja sebagai depresan sistem saraf pusat. Ketika dikonsumsi, alkohol mempengaruhi neurotransmitter di otak, khususnya gamma-aminobutyric acid (GABA), yang bertanggung jawab atas efek menenangkan. Efek ini dapat menghasilkan sensasi relaksasi dan euforia sementara, namun di sisi lain, konsumsi berlebih dapat menyebabkan gangguan kesadaran, koordinasi motorik, hingga ketergantungan psikologis dan fisiologis.
Beberapa studi menunjukkan bahwa penggunaan alkohol dalam jumlah kecil secara sosial kadang dianggap normal, namun tetap membawa risiko akumulatif bagi kesehatan otak. Penurunan fungsi kognitif, gangguan memori jangka panjang, hingga peningkatan risiko demensia merupakan beberapa dampak jangka panjang konsumsi alkohol.
Dampak Alkohol terhadap Organ Tubuh
Alkohol bukan hanya berdampak pada sistem saraf pusat, tetapi juga memiliki pengaruh besar terhadap organ tubuh lainnya, khususnya:
- Hati (Liver): Organ ini menjadi titik utama metabolisme alkohol. Konsumsi jangka panjang dapat menyebabkan perlemakan hati (fatty liver), hepatitis alkoholik, sirosis, hingga kanker hati.
- Jantung: Konsumsi alkohol secara rutin dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit jantung, termasuk hipertensi, aritmia, dan kardiomiopati alkoholik.
- Sistem Pencernaan: Alkohol dapat mengiritasi saluran cerna, menyebabkan gastritis, tukak lambung, dan meningkatkan risiko kanker lambung dan pankreas.
- Sistem Imun: Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh, membuat tubuh lebih rentan terhadap infeksi.
Alkohol dan Risiko Kanker
Badan Internasional untuk Penelitian Kanker (IARC), yang merupakan bagian dari WHO, mengklasifikasikan alkohol sebagai karsinogen kelompok 1. Artinya, ada bukti kuat bahwa konsumsi alkohol dapat menyebabkan kanker pada manusia. Beberapa jenis kanker yang berhubungan erat dengan konsumsi alkohol antara lain kanker mulut, tenggorokan, esofagus, hati, payudara, dan kolorektal.
Efek Sosial dan Psikologis
Selain dampak medis, konsumsi alkohol juga berkaitan erat dengan berbagai persoalan sosial. Kecanduan alkohol (alkoholisme) dapat merusak hubungan interpersonal, memicu kekerasan dalam rumah tangga, meningkatkan risiko kecelakaan lalu lintas, serta mengganggu produktivitas kerja.
Alkohol juga menjadi salah satu faktor risiko utama dalam gangguan kesehatan mental, termasuk depresi dan kecemasan. Meskipun alkohol memberikan efek relaksasi sementara, penggunaannya secara terus-menerus justru dapat memperburuk kondisi psikologis seseorang.
Alkohol dalam Konteks Medis dan Tradisional
Dalam dunia medis modern, penggunaan alkohol dalam bentuk murni atau etanol terbatas pada penggunaan eksternal seperti antiseptik atau pelarut obat-obatan tertentu. Sementara itu, dalam pengobatan tradisional, alkohol kadang digunakan sebagai pelarut ramuan herbal atau pengawet. Namun, penggunaannya tetap berada dalam pengawasan ketat dan tidak menjadi bagian dari asupan rutin.
Bagaimana dengan Konsumsi “Moderasi”?
Beberapa kalangan menyebut bahwa konsumsi alkohol dalam jumlah sangat sedikit, seperti segelas anggur merah per hari, dapat memberikan manfaat bagi kesehatan jantung karena kandungan antioksidan seperti resveratrol. Namun, klaim ini mulai banyak dipertanyakan. Studi terbaru menunjukkan bahwa manfaat tersebut tidak berasal dari alkohol itu sendiri, melainkan dari komponen dalam buah anggur yang bisa didapat tanpa perlu mengonsumsi alkohol.
Faktanya, WHO dan berbagai lembaga kesehatan di seluruh dunia kini mendorong narasi bahwa tidak ada tingkat konsumsi alkohol yang sepenuhnya aman, bahkan dalam jumlah kecil.
Pandangan Agama dan Budaya
Dalam banyak ajaran agama, alkohol dilarang atau sangat dibatasi penggunaannya. Islam, misalnya, secara tegas melarang konsumsi alkohol dalam bentuk apapun. Ajaran ini selaras dengan temuan ilmiah tentang dampak negatif alkohol terhadap kesehatan dan masyarakat.
Di sisi lain, dalam beberapa budaya Barat, alkohol menjadi bagian dari tradisi sosial. Perayaan, pesta, hingga ritual keagamaan di beberapa kelompok kerap melibatkan konsumsi alkohol. Namun, meningkatnya kesadaran kesehatan dan gaya hidup sehat mendorong perubahan budaya ke arah pengurangan atau penghapusan konsumsi alkohol.
Tubuh Tidak Membutuhkan Alkohol
Merujuk pada tinjauan medis, ilmiah, dan sosial, dapat disimpulkan secara tegas bahwa tubuh manusia tidak memerlukan alkohol untuk berfungsi secara optimal. Tidak ada manfaat biologis yang mengharuskan konsumsi alkohol, dan justru, risiko yang ditimbulkan jauh lebih besar daripada potensi manfaatnya.
Dengan berkembangnya pemahaman masyarakat akan pentingnya gaya hidup sehat, banyak individu kini memilih untuk menjauhi alkohol atau mengadopsi pola hidup bebas alkohol. Langkah ini dinilai sejalan dengan upaya global dalam menurunkan angka penyakit tidak menular dan memperbaiki kualitas hidup.
Penulis: Zainal Efendi
Editor: Zainal Efendi
Sumber: WHO, IARC, Kementerian Kesehatan RI, Harvard Medical School, Mayo Clinic, dan berbagai jurnal ilmiah terkait konsumsi alkohol.