oleh: Anna Martyna Sinamo
Tanah ulayat merupakan hak penguasaan atas tanah yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat, termasuk suku Pakpak di Sumatera Utara, Indonesia. Dalam konteks suku Pakpak, tanah ulayat sering disebut sebagai “Tanah Marga” atau “Beras Pati Tanoh”, yang memiliki nilai sakral karena dianggap sebagai warisan leluhur yang harus dilestarikan.
Tanah ini bukan hanya sumber penghidupan, tetapi juga simbol identitas budaya dan keberlangsungan masyarakat adat. Namun, pengakuan atas tanah ulayat ini sering kali diabaikan, menyebabkan konflik dan degradasi lingkungan.
Kearifan lokal masyarakat adat Pakpak memainkan peran penting dalam menjaga kelestarian alam. Kearifan ini mencakup pengetahuan tradisional yang diturunkan secara turun-temurun, yang mengintegrasikan harmoni antara manusia dan alam.
Melalui praktik-praktik adat, masyarakat Pakpak memastikan bahwa penggunaan sumber daya alam dilakukan secara berkelanjutan, menghindari eksploitasi berlebihan yang dapat merusak ekosistem.
Bentuk kearifan lokal Pakpak yang menonjol antara lain Menanda Tahun, Menoto, Rebbu, dan Mendegger Uruk.
Menanda Tahun adalah ritual tahunan yang dilakukan jelang musim tanam untuk memohon berkah dan menghindari bencana alam, dengan tujuan agar tidak menyalahi ketentuan alam gaib demi kelestarian lingkungan.
Menoto dan Rebbu merupakan praktik adat yang terkait dengan pengelolaan lahan dan penghormatan terhadap alam, yang memadukan antara apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dipantangkan dalam pengelolaan alam dan isinya.
Mendegger Uruk adalah upacara adat yang berfungsi sebagai sistem proyeksi, pendidikan, dan pengawasan sosial untuk menjaga norma-norma lingkungan, berupa permohonan doa kepada Tuhan agar dijauhkan dari mara bahaya, bencana, perselisihan dan hal-hal lain yang pada akhirnya merusak alam dan pengisinya.
Bentuk praktik-praktik budaya ini tidak hanya mempertahankan keseimbangan ekologis, tetapi juga memperkuat ikatan komunal masyarakat.
Sayangnya, terjadi moral hazard oleh pemerintah akibat kebijakan yang salah dan keliru, yang dipengaruhi oleh budaya korupsi dan gaya hidup hedonisme.
Korupsi di sektor sumber daya alam (SDA) tidak hanya menimbulkan kerugian finansial, tetapi juga merusak ruang lingkungan, di mana segelintir orang menguasai kekayaan negeri secara tidak adil.
Kebijakan perizinan yang longgar dan pembiaran aktivitas ilegal seperti penebangan hutan, penambangan, dan illegal logging yang dibekingi oleh penguasa dan APH nakal memperburuk kondisi ini, pada akhirnya menciptakan ketimpangan dan degradasi ekologis di wilayah adat.
Masyarakat adat sering kali tidak disertakan dalam pengelolaan lingkungan, meskipun mereka memiliki pengetahuan mendalam tentang wilayah mereka.
Pengabaian ini menyebabkan kebijakan pemerintah tidak selaras dengan kearifan lokal, sehingga mempercepat hilangnya praktik tradisional yang melindungi alam.
Di tanah ulayat Pakpak, klaim sepihak atas tanah adat tanpa penetapan resmi masyarakat hukum adat (MHA) oleh pemerintah padahal jelas lembaga sulang silima marga adalah pemilik tanah ulayat semakin memperburuk situasi.
Bencana ekologis berupa perambahan hutan dan illegal logging di wilayah Pakpak telah menyebabkan tanah longsor di limapuluhan titik, menyebabkan putusnya akses ke dan dari kabupaten Pakpak Bharat, kecilnya debit air diwaktu kemarau dan debit yang meraksasa diwaktu musim hujan telah membuktikan rusaknya ekologis di Tanoh Pakpak.
Kalau dirunut penyebab kerusakan ekologis tersebut, dimulai dari money politics yang mahal dalam sistem politik.
Praktik politik uang ini merusak integritas pemilu dan pilkada, di mana kandidat sering kali bergantung pada dana besar dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan eksploitatif terhadap SDA.
Akibatnya, kebijakan lingkungan menjadi korban, dengan deforestasi dan alih fungsi lahan yang memicu banjir dan longsor.
Di Sumatera Utara, termasuk Pakpak Bharat, hujan deras baru-baru ini menyebabkan longsor dan banjir, yang bukan semata-mata bencana alam melainkan akibat kerusakan ekologis jangka panjang.
Lebih lanjut, moralitas dan mental masyarakat dirusak oleh sistem politik dan pilkada yang korup. Korupsi di daerah pasca-desentralisasi menciptakan peluang bagi pejabat untuk menyalahgunakan wewenang, termasuk dalam pengelolaan dana desa dan lingkungan.
Hal ini tidak hanya merusak kepercayaan publik, tetapi juga melemahkan kearifan lokal, di mana nilai-nilai tradisional digantikan oleh budaya materialisme dan korupsi. Hedonisme dan matrialisme dipuja sebagai Tuhan yang mengakhiri penghormatan kepada alam.
Untuk mengatasi ini, perlu dikembalikan tanah ulayat kepada masyarakat adat, sementara pemerintah bertugas membuat regulasi yang melindungi hak-hak dan kewajiban mereka.
Pengakuan atas lembaga adat seperti Sulang Silima Marga Pakpak melalui peraturan daerah akan memastikan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan, sebab hanya dengan kesadaran ekologis oleh masyarakat adatlah yang dapat mencegah deforestasi dan eksploitasi SDA.
Kesadaran ekologis hanya bisa diajarkan secara langsung dengan merawat bumi dan menanam pohon bukan dengan orasi apalagi omon-omon di panggung , sehingga kearifan lokal dapat dihidupkan kembali, mencegah bencana ekologis lebih lanjut dan berkelanjutan. (*)