Demonstrasi besar di Nepal dipicu isu korupsi, nepotisme, dan kesenjangan sosial yang menewaskan 22 orang. Aksi demonstrasi Nepal dipimpin generasi muda atau Gen Z, menuntut keadilan atas korupsi dan ketimpangan. Kerusuhan berujung mundurnya PM Sharma Oli.
Kathmandu, Sinata.id – Nepal diguncang gelombang protes besar-besaran yang berakhir ricuh dan memaksa Perdana Menteri KP Sharma Oli mengundurkan diri dari jabatannya. Kerusuhan yang pecah di berbagai wilayah menelan sedikitnya 22 korban jiwa dan melukai lebih dari 100 orang, sebagian besar akibat bentrokan dengan aparat kepolisian.
Dalam surat resmi yang ditujukan kepada Presiden Ramchandra Paudel, Sharma Oli menyatakan pengunduran dirinya dilakukan demi membuka jalan bagi penyelesaian politik.
“Mengingat kondisi negara yang tidak kondusif, saya mundur efektif hari ini agar solusi dapat ditemukan secara konstitusional dan politis,” tulisnya, dikutip Sinata.id pada Rabu (10/9/2025).
Baca Juga: Pemicu Demo Nepal, Nepotisme dan Gaya Hidup Mewah Elit Politik di Tengah Ketimpangan Ekonomi
Pemicu Kerusuhan
Laporan Al Jazeera mengungkapkan, protes dipicu oleh meningkatnya ketidakpuasan publik terhadap gaya hidup mewah keluarga elite politik di tengah kondisi ekonomi Nepal yang rapuh. Istilah “nepo kids”—yang merujuk pada anak-anak pejabat yang kerap memamerkan kemewahan—viral di media sosial beberapa pekan sebelum demonstrasi pecah.
Konten di TikTok dan Instagram menampilkan kerabat pejabat berpose dengan mobil mahal, jam tangan bermerek, hingga berlibur ke destinasi eksklusif. Hal ini menimbulkan amarah publik yang menilai elite politik hidup jauh dari realitas masyarakat miskin Nepal.
“Fenomena ‘anak-anak nepo’ mencerminkan frustrasi mendalam rakyat terhadap kesenjangan dan korupsi,” ujar Yog Raj Lamichhane, akademisi dari Universitas Pokhara.
Para demonstran kini menuntut pembentukan komisi independen untuk menyelidiki sumber kekayaan pejabat negara, menyusul dugaan penyalahgunaan dana publik untuk kepentingan pribadi.
Baca Juga: Video Menteri Keuangan Nepal Ditelanjangi hingga Diseret ke Sungai Viral
Ketimpangan Ekonomi
Nepal masih bergulat dengan kemiskinan. Pendapatan per kapita tahunannya sekitar US$1.400 (Rp23 juta), termasuk yang terendah di Asia Selatan. Data Bank Dunia menunjukkan pengangguran pemuda mencapai 32,6 persen pada 2024, jauh lebih tinggi dibandingkan India (23,5 persen).
Situasi ini mendorong jutaan warga Nepal bekerja di luar negeri. Pada 2024, remitansi dari pekerja migran menyumbang lebih dari 33 persen PDB, menjadikannya salah satu yang tertinggi di dunia.
Namun, distribusi kepemilikan tanah tetap timpang, 10 persen rumah tangga kaya menguasai lebih dari 40 persen lahan, sedangkan mayoritas rakyat miskin hampir tak memiliki tanah.
Korupsi, Inflasi, dan Tekanan Sosial Media
Menurut laporan News18, selain kesenjangan ekonomi, protes juga dipicu oleh “frustrasi digital” yang dipengaruhi diaspora Nepal di luar negeri. Aktivis serta influencer media sosial memperkuat narasi antikorupsi dan menyebarkannya ke dalam negeri, memicu mobilisasi besar-besaran.
Sumber intelijen menilai, pola eskalasi protes di Nepal mirip dengan Bangladesh, di mana aktivisme digital berkembang menjadi aksi massa di jalanan.
Pemblokiran Media Sosial Jadi Pemicu Demo Berdarah
Kerusuhan besar berawal ketika pemerintah memblokir 26 platform media sosial, termasuk Facebook, YouTube, X, dan LinkedIn, dengan alasan belum memenuhi kewajiban pendaftaran.
Langkah itu dianggap melanggar hak dasar publik dan memicu gelombang demonstrasi sejak Kamis pekan lalu.
“Kebijakan ini bentuk pengendalian pemerintah yang berlebihan,” kritik Bholanath Dhungana, Presiden Digital Rights Nepal.
Hanya TikTok, Viber, dan beberapa platform kecil yang telah mendaftar secara resmi. Sementara itu, pemblokiran terhadap aplikasi populer memicu kemarahan jutaan pengguna.
Dari Bendera One Piece hingga Pembakaran Gedung
Protes awal berlangsung damai, namun segera berubah menjadi kerusuhan. Massa menyanyikan lagu kebangsaan, membawa bendera, termasuk bendera bertema One Piece, dan meneriakkan tuntutan penghapusan korupsi.
Kericuhan pecah ketika aparat menembakkan gas air mata, peluru karet, hingga peluru logam. Sirene ambulans terdengar di seluruh Kathmandu ketika korban berjatuhan. Laporan rumah sakit menyebut ratusan orang luka-luka, termasuk polisi.
Pada puncak aksi, gedung parlemen hingga rumah dinas pejabat tinggi dibakar massa. Video viral menunjukkan Menteri Keuangan Bishnu Prasad Paudel dikejar hingga terjatuh di jalanan ibu kota.
Krisis politik kian dalam setelah Menteri Dalam Negeri Ramesh Lekhak mundur pada Senin malam. Sehari kemudian, Perdana Menteri Oli menyusul langkah serupa.
PBB menyerukan investigasi transparan terhadap penggunaan kekerasan yang menewaskan warga sipil.
“Pemerintahan transisi mendesak untuk dibentuk dengan melibatkan tokoh yang dipercaya publik, khususnya generasi muda,” kata Ashish Pradhan, analis Crisis Group.
Wali Kota Kathmandu, Balendra Shah, bahkan menyebut perlawanan ini sebagai “gerakan Gen Z”. Ia menyerukan agar masyarakat menahan diri sembari mendorong perubahan politik yang lebih bersih.
Nepal menjadi republik federal pada 2008 setelah mengakhiri perang saudara dan menghapus monarki. Namun sejak saat itu, pergantian perdana menteri terjadi berulang kali, memunculkan persepsi bahwa pemerintah tidak mampu menjawab kebutuhan rakyat.
Kini, dengan lebih dari 40 persen populasi berada pada rentang usia produktif, gelombang protes Gen Z menjadi tantangan baru bagi stabilitas politik di negeri Himalaya berpenduduk 30 juta jiwa ini. (A46)