Sinata.id – Rencana pemerintah untuk menghadirkan bahan bakar campuran nabati, bioetanol 10% atau E10, tampaknya tidak akan datang dengan harga yang murah.
Seorang peneliti independen sektor energi, Akhmad Hanan, mengungkapkan bahwa harga jual E10 berpotensi lebih tinggi dibandingkan bensin fosil RON 92 atau Pertamax. Alasannya? Biaya produksinya jauh lebih mahal, bisa mencapai 5 hingga 15 persen per liter.
Menurut Akhmad, studi yang dilakukan oleh International Energy Agency (IEA) dan International Renewable Energy Agency (IRENA) menunjukkan bahwa biaya produksi etanol konvensional dari jagung di Amerika Serikat pernah menyentuh kisaran US$0,9—US$1,1 per liter ekuivalen bensin pada 2012.
Sementara Brasil, yang memproduksi bioetanol dari tebu, bisa menekan ongkos hingga US$0,7—US$0,9 per liter, masih lebih efisien.
Baca Juga: Bahlil: Saya Sudah Biasa Dihina Sejak Kecil
Di Indonesia sendiri, harga acuan bioetanol pada Agustus 2020 pernah mencapai Rp14.779 per liter, jauh di atas harga Pertamax pada periode yang sama.
“Dengan kondisi saat ini, saya memperkirakan harga jual E10 akan sedikit lebih mahal dari bensin RON 92, kecuali ada subsidi atau insentif pemerintah,” jelas Akhmad, dilansir Bloomberg, Sabtu (25/10/2025).
Akhmad menjelaskan, selisih harga tersebut bisa semakin tipis bila produksi bioetanol diperluas dan pasokan bahan bakunya didiversifikasi. Ia mencontohkan hasil studi Deloitte yang menyebut bioetanol generasi kedua, yang diproduksi dari limbah pertanian atau ampas tebu, berpotensi menekan biaya produksi lebih jauh.
Namun, tanpa kebijakan insentif atau pengurangan pajak, beban biaya itu akan tetap jatuh ke tangan masyarakat.
“Pemerintah perlu memperkuat industri hulu dan menjaga agar bahan baku bioetanol tidak bersaing dengan kebutuhan pangan,” tegasnya.
Uji Coba E10 Mulai Dijalankan Tahun 2027
Dari sisi pemerintah, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyebut Presiden Prabowo Subianto telah memberi lampu hijau untuk program mandatori E10, sebuah kebijakan yang sebenarnya telah lama digodok. Namun, Bahlil menegaskan, kebijakan ini masih perlu tahap uji coba sebelum diterapkan secara nasional.
Sementara itu, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) ESDM, Eniya Listiani Dewi, menyampaikan bahwa implementasi E10 akan dilakukan secara terbatas di sektor non-PSO (non-subsidi). Target pelaksanaannya dimulai pada sekitar tahun 2027 hingga 2028.
“Non-PSO dulu, jadi bukan tahun depan. Kira-kira dua sampai tiga tahun lagi,” ujar Eniya, dikutip Sabtu (25/10/2025).
Untuk tahap awal, kebutuhan bioetanol yang dibutuhkan mencapai 1,2 juta kiloliter.
AS Justru Menolak E15
Menariknya, ketika Indonesia tengah bersiap melangkah ke E10, Amerika Serikat justru mengalami gejolak penolakan terhadap E15, bensin dengan campuran etanol 15%.
American Petroleum Institute (API) secara terbuka menyatakan keberatan terhadap RUU Pilihan Konsumen dan Pengecer Bahan Bakar Nasional 2025, yang memungkinkan penjualan E15 sepanjang tahun.
CEO API, Mike Sommers, dalam suratnya kepada Kongres menulis bahwa penyuling minyak kini menghadapi ketidakpastian pasar biofuel serta aturan negara bagian yang tumpang tindih.
“Perubahan struktur kepatuhan federal dan ketidakpastian pasar telah membuat kami meninjau ulang posisi kami terhadap RUU tersebut,” ungkapnya. [sinata/a46]