Pematangsiantar, Sinata.id – Polemik mengenai implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar mencuat di tengah masyarakat, khususnya terkait pemahaman terhadap status dan kriteria tanah yang dikategorikan sebagai terlantar.
PP Nomor 20 Tahun 2021 Picu Pro dan Kontra
Peraturan tersebut mendefinisikan tanah terlantar sebagai bidang tanah yang tidak diusahakan, tidak digunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan peruntukan dan hak yang diberikan. Status ini dapat diterapkan pada tanah-tanah yang memiliki hak tertentu, seperti Hak Guna Usaha (HGU) maupun Hak Guna Bangunan (HGB).
Kepala Subbagian Humas Kantor Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Kota Pematangsiantar, Immanuel Manullang, memberikan penjelasan mengenai mekanisme dan dasar penetapan status tanah terlantar.
“Misalnya, jika sebuah lahan awalnya diberikan izin HGU untuk perkebunan nanas, namun kemudian dimanfaatkan untuk bengkel, maka izin tersebut dapat tidak diperpanjang karena penggunaan tidak sesuai peruntukan awal,” jelas Immanuel saat ditemui pada Selasa, 22 Juli 2025.
Ia menegaskan bahwa penetapan tanah sebagai tanah terlantar bukan proses instan. Penentuan status tersebut melalui serangkaian prosedur administratif yang melibatkan berbagai tahapan, mulai dari terbitnya surat edaran dari Kementerian ATR/BPN, kemudian dilanjutkan dengan proses inventarisasi oleh pihak BPN, dilakukannya eksaminasi, hingga akhirnya dikeluarkan keputusan resmi mengenai status tanah tersebut.
Namun demikian, dalam pelaksanaan dan penindakan atas temuan tanah terlantar, BPN tidak dapat bergerak secara sepihak. Immanuel menyampaikan bahwa pelaksanaan eksekusi memerlukan sinergi lintas sektor.
“BPN tidak hanya melakukan inventarisasi. Kami juga memerlukan dukungan kelembagaan yang dapat menjalankan proses penertiban sesuai regulasi yang berlaku,” katanya.
Lebih jauh, ia memaparkan bahwa salah satu fokus utama BPN Pematangsiantar saat ini adalah melaksanakan pemetaan tanah secara sistematis, sebagaimana yang telah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Pemetaan ini mencakup seluruh jenis tanah—baik yang belum bersertifikat, yang telah bersertifikat, hingga yang tergolong sebagai tanah terlantar.
Dari data yang dihimpun, imbuhnya, sekitar 81 persen bidang tanah di Kota Pematangsiantar telah bersertifikat, sementara sisanya—sekitar 19 persen—masih belum memiliki legalitas resmi.
“Angka ini menunjukkan progres yang cukup baik. Target kami, tahun depan Pematangsiantar bisa menyandang status sebagai kota lengkap,” ucap Immanuel penuh harap.
Sebagai informasi, predikat kota lengkap merujuk pada daerah yang seluruh bidang tanahnya telah terpetakan secara digital dan terekam dalam sistem peta citra, sehingga memudahkan akses informasi secara transparan bagi publik.
Immanuel juga menegaskan bahwa pihaknya sangat terbuka terhadap laporan masyarakat, terutama yang menyangkut status atau legalitas lahan. Pihaknya siap memberikan klarifikasi langsung kepada warga yang ingin mendapatkan penjelasan.
“Jika ada masyarakat yang merasa ragu atau butuh informasi terkait status tanahnya, kami persilakan datang langsung ke kantor. Kami siap memberikan keterangan secara jujur, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan,” tutupnya. (HN)