Jakarta, Sinata.id – Indonesia kembali berduka. Bencana banjir bandang mematikan di Sumatera telah merenggut 1.016 jiwa per Minggu (14/12/2025), data dari BNPB. Angka korban yang fantastis ini memicu kritik keras dari kalangan ilmuwan.
Peneliti Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yanu Endar Prasetyo, menyoroti bahwa tragedi ini adalah bukti nyata kegagalan bangsa dalam berbenah diri.
”Siklon tropis ini bukan hal baru, dari catatan media pada 2021 juga sudah terjadi (Siklon Seroja), tapi kita tidak belajar ya,” kata Yanu dalam sebuah webinar beberapa hari lalu.
Menurutnya, Indonesia seolah gagal total dalam memitigasi bencana yang dampaknya sudah terlihat. Ibarat deja vu penanganan pandemi Covid-19, suara dan rekomendasi ilmuwan hampir tidak pernah didengarkan dan dijadikan landasan kebijakan kebencanaan.
Ekonomi ‘Panglima’, Ekologi Jadi ‘Babu’? Ini Sebabnya Bencana Terus Berulang!
Kritik tajam Yanu juga mengarah pada model pembangunan Indonesia yang dinilai tidak seimbang. Ia menyebut bahwa saat ini, ekonomi menjadi “panglima” yang dominan, sementara ekologi diposisikan sebagai “sub-koordinat” atau pihak yang tunduk di bawah kepentingan ekonomi.
”Karena ekonomi menjadi panglima, dan ekologi menjadi sub-koordinat, maka yang terjadi adalah yang kita lihat hari ini,” ujarnya.
Karakteristik ‘3P’ yang Berbahaya: Pelupa, Pemaaf, Penyabar!
Yanu juga melontarkan kekhawatiran besar terhadap karakteristik masyarakat Indonesia yang ia sebut sebagai “3P”: pelupa, pemaaf, dan penyabar. Ia cemas, hanya dalam tiga bulan ke depan, duka dan perhatian pada korban banjir bandang di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat akan lenyap dari memori kolektif bangsa.
Diperparah lagi, sikap fatalisme yang masih mengakar kuat di masyarakat—keyakinan bahwa semua telah ditentukan takdir—membuat sains dan peringatan dini dikesampingkan.
”Dari sisi masyarakatnya, fatalism, intinya semuanya diserahkan kepada Tuhan dan mungkin sains nomor sekian, dari sisi pengambil kebijakannya, panglimanya adalah ekonomi dan tidak mendengarkan ilmuwan,” ujar Yanu.
Kepemimpinan Daerah ‘Lemaj’ di Tengah Krisis: Ada yang Pilih Umrah Saat Rakyat Berduka!
Bencana ini juga membuka tabir krisis politik dan administrasi di tingkat daerah. Yanu menganggap kapasitas kepemimpinan kepala daerah sangat memengaruhi seberapa parah dampak bencana tersebut.
Ia menyoroti hanya Gubernur Aceh yang tampil ke depan, berupaya keras menarik perhatian dan bantuan dari pusat.
Sebaliknya, Yanu menyesalkan adanya pemimpin daerah lain yang memilih umrah di tengah rakyatnya sedang dilanda musibah.
”Bencana itu menjadi berlipat-lipat ketika tidak ada kapasitas kepemimpinan dan anggaran,” tuturnya.
Prediksi Sudah Ada, Tapi Indonesia Belum Siap?
Perubahan iklim global dan peningkatan suhu muka laut memicu terbentuknya siklon tropis ekstrem. Mirisnya, potensi kemunculan siklon ini sebenarnya dapat dideteksi jauh-jauh hari melalui permodelan cuaca.
Peneliti Pusat Riset Iklim dan Cuaca Ekstrem BRIN, Erma Yulihastin, mengungkapkan bahwa pihaknya telah mengembangkan perangkat prediksi cuaca canggih. Namun, tantangan terberat adalah mengoptimalkan hasil prediksi itu menjadi tindakan mitigasi yang cepat dan tepat.
”Peringatan dini menjadi kunci utama untuk menekan risiko korban jiwa. Tantangannya adalah memastikan informasi tersebut dapat ditindaklanjuti secara cepat dan tepat,” kata Erma, menekankan bahwa sistem kesiapsiagaan kita masih jauh panggang dari api. []



