Ia menjelaskan, Mirwan melanggar ketentuan Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang mengatur larangan kepala daerah melakukan perjalanan ke luar negeri tanpa izin dari Kemendagri.
“Yang bersangkutan melakukan perjalanan ke luar negeri pada 2 Desember untuk umrah tanpa izin resmi. Undang-undang secara tegas mengatur sanksinya,” ujar Tito.
Kasus ini juga menjadi perhatian Presiden RI Prabowo Subianto, yang menyoroti aspek kepemimpinan dan tanggung jawab kepala daerah saat wilayahnya berada dalam kondisi krisis.
Sementara itu, Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya mengungkapkan bahwa Mirwan telah menjalani pemeriksaan oleh Inspektorat Jenderal Kemendagri usai kembali ke Indonesia.
“Pemeriksaan mencakup banyak hal, termasuk konteks keberangkatan ibadah tersebut, pihak yang terlibat, serta sumber pembiayaannya,” kata Bima, Senin (8/12).
Menurutnya, pemeriksaan tidak hanya menyasar Mirwan, tetapi juga pihak-pihak lain yang terkait. Seluruh proses dilakukan mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, yang membuka kemungkinan sanksi berjenjang, mulai dari teguran hingga pemberhentian tetap.
Jika nantinya hasil pemeriksaan merekomendasikan pemberhentian permanen, Kemendagri akan membawa perkara tersebut ke Mahkamah Agung sesuai mekanisme hukum.
“Semua pintu hukum terbuka. Kita menunggu hasil pemeriksaan secara objektif,” tegas Bima.
Di tengah proses tersebut, Mirwan kembali menegaskan kesiapannya bertanggung jawab penuh dan berkomitmen memperbaiki kepercayaan masyarakat.
“Saya sekali lagi menyampaikan permohonan maaf sebesar-besarnya kepada Presiden, Mendagri, Gubernur Aceh, dan seluruh masyarakat Indonesia, khususnya warga Aceh Selatan,” katanya dalam pernyataan yang diunggah melalui akun media sosial resminya.
Peristiwa ini kini menjadi pelajaran penting tentang kepemimpinan di masa krisis—bahwa kehadiran negara, khususnya kepala daerah, menjadi sorotan utama ketika bencana melanda. [a46]






