Sinata.id – Konflik agraria antara lahan PTPN IV Regional 6 dengan masyarakat di Aceh Utara kembali menyeruak ke permukaan. Sengketa lahan di Kecamatan Cot Girek kini memasuki babak baru setelah resmi dilaporkan ke Bupati Aceh Utara, Ismail A Jalil.
Bupati yang akrab disapa Ayahwa, ini menyatakan sepakat bersama pihak PT Perkebunan Nusantara IV (PTPN IV) untuk melakukan pengukuran ulang untuk memastikan batas lahan tidak lagi menjadi abu-abu, agar perusahaan tetap memiliki kepastian hukum, sementara petani lokal tidak kehilangan hak atas tanah yang mereka garap turun-temurun.
“Persoalan lahan ini harus diluruskan. Jangan sampai ada yang dirugikan, baik perusahaan maupun masyarakat,” tegas Ayahwa, Senin (23/9/2025).
HGU PTPN IV Menuju Tenggat Waktu
Kepala Kantor Pertanahan Aceh Utara, Muhammad Reza, menjelaskan bahwa PTPN IV telah mengajukan perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) atas lahan seluas 7.500 hektare di Cot Girek.
Masa berlaku izin tersebut akan habis pada 26 November 2026.
“Biasanya lima tahun sebelum HGU berakhir, perusahaan sudah mengajukan perpanjangan. Itu yang dilakukan PTPN IV,” kata Reza.
Namun, fakta di lapangan ternyata tak sesederhana itu.
Meski pengukuran ulang sudah dilakukan sejak pertengahan 2024, hasilnya hingga kini belum diperiksa tim gabungan yang terdiri dari Kanwil Pertanahan Aceh, Pemprov Aceh, dan Pemkab Aceh Utara.
Reza menegaskan, kewenangan pengambilan keputusan ada di tangan tim gabungan tersebut.
“Kalau lahan di atas 1.000 hektare itu langsung kewenangan Kementerian ATR/BPN. Jadi perpanjangan, pelepasan sebagian lahan, atau pembatalan, semuanya bergantung pada hasil verifikasi tim,” ujarnya.
Konflik Tak Hanya di Cot Girek
Kisruh tanah di Aceh Utara ternyata bukan monopoli PTPN IV. PT Satya Agung di Kecamatan Geureudong Pase juga menghadapi persoalan serupa.
Perusahaan ini tengah mengurus perpanjangan HGU Nomor 18 untuk lahan seluas 200 hektare.
Sesuai aturan, mereka wajib memasang patok batas terlebih dahulu sebelum dilakukan pengukuran ulang oleh Kantor Pertanahan.
Namun, proses ini berhenti sementara setelah adanya kesepakatan antara DPRD Aceh Utara, masyarakat, dan pihak perusahaan.
“Pengukuran ulang Satya Agung ini kewenangan Kanwil Pertanahan Provinsi Aceh. Jadi sekali lagi, urusan tanah ini bukan bisa diselesaikan sendiri oleh Kantor Pertanahan, melainkan harus bersama pemerintah daerah,” jelas Reza.
Selain Satya Agung, konflik serupa juga menghantam PT Bapco di Paya Bakong, Aceh Utara.
Desakan masyarakat Cot Girek agar lahan mereka tidak dilibas klaim HGU PTPN IV mencerminkan keresahan panjang. Petani merasa terpinggirkan, sementara perusahaan mengandalkan kekuatan legalitas.
Bupati Ayahwa mencoba berdiri di tengah, menghadirkan kembali pengukuran ulang sebagai instrumen untuk mencari kejelasan.
Namun, persoalannya tidak sederhana. Setiap patok yang dipasang, setiap hektare tanah yang ditarik garis batas, bisa berarti hidup-mati bagi ribuan keluarga petani, sekaligus masa depan investasi perkebunan di wilayah itu. (A46)