Sinata.id — Mendekati perayaan Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia, sorotan publik justru tertuju pada simbol fiksi dari budaya pop, bukan pada Sang Saka Merah Putih yang seharusnya menjadi lambang utama nasionalisme. Di berbagai platform media sosial, bendera bajak laut dari serial anime One Piece mencuri perhatian publik, bahkan lebih ramai diperbincangkan dibandingkan simbol negara.
Fenomena ini bukan sekadar tren budaya populer. Namun dianggap mencerminkan gelombang kekecewaan masyarakat, khususnya generasi muda, terhadap kondisi sosial dan politik Indonesia yang dinilai semakin menjauh dari nilai-nilai keadilan sosial yang tertuang dalam Pancasila, terutama sila kelima.
Dominasi Simbol Bajak Laut di Dunia Maya
Dalam beberapa hari terakhir, media sosial seperti TikTok, Twitter/X, dan Instagram dipenuhi unggahan bendera “Topi Jerami” — lambang kelompok bajak laut fiksi dalam One Piece. Unggahan tersebut tidak hanya berisi gambar, melainkan juga narasi kritis, seperti: “Setidaknya mereka jujur bahwa sedang berlayar dan mencari keadilan.”
Sementara itu, tagar yang berkaitan dengan nasionalisme seperti #MerahPutih dan #17Agustus nyaris tenggelam di tengah maraknya diskusi seputar karakter fiksi dari negeri sakura.
Antara Hiburan dan Kritik Sosial
Albert, salah satu penggemar One Piece di Indonesia, menilai bahwa situasi ini merepresentasikan kekecewaan kolektif terhadap kondisi sosial politik tanah air. Dalam tayangan TVOne di Youtube, dikutip Jumat, 8 Agustus 2025, ia menyampaikan bahwa ekspresi lewat simbol fiksi merupakan bentuk kritik yang lebih bisa diterima oleh masyarakat luas.
“Kadang kita mengkritisi (dengan) lembut, tidak didengar. Mengkritisi keras, katanya berlebihan,” ujarnya.
Menurutnya, fenomena ini bukanlah bentuk pelecehan terhadap simbol negara, melainkan cara alternatif menyampaikan aspirasi ketika ruang-ruang konvensional semakin sempit. Meski demikian, ia menegaskan bahwa komunitasnya tetap menghormati bendera Merah Putih.
“Kita (juga) mengibarkan bendera (One Piece) tidak lebih tinggi (dari Merah Putih)… Kita One Piece, tapi darah kita tetap Indonesia,” imbuhnya.
Berbagai pengguna media sosial turut menyoroti bahwa ketimpangan sosial yang makin mencolok, lemahnya penegakan hukum, serta maraknya praktik korupsi telah merusak citra simbol-simbol kebangsaan. Dalam konteks ini, bendera Merah Putih dinilai hanya menjadi alat seremonial tanpa kekuatan moral yang nyata.
Seorang pengguna dengan nama akun Maria menulis, “Ketika rakyat merasa bendera Merah Putih hanya dikibarkan secara seremonial tanpa substansi keadilan, maka simbol itu kehilangan makna sakralnya di mata generasi muda.”
Kritik serupa juga bermunculan dari akun-akun lain yang menyoroti absennya perlawanan nyata dari para pemimpin terhadap berbagai bentuk ketidakadilan.
Generasi Z dan milenial — kelompok usia paling aktif di ruang digital — tampak menjadi penggerak utama di balik fenomena ini. Bagi mereka, bendera bajak laut fiksi tak sekadar elemen hiburan, melainkan bentuk simbolik dari aspirasi dan keresahan terhadap sistem yang dirasa semakin timpang.
Seorang pengguna dengan nama Arjuna menyampaikan dalam komentarnya, “Di One Piece, semua karakter berjuang karena mereka tahu sistem dunia itu korup. Kalau di Indonesia, kita juga tahu, tapi suara rakyat sering diabaikan. Maka, kami menggunakan simbol fiksi untuk bersuara.”
Tak jarang pula, kutipan dari Pancasila, terutama sila kelima, disisipkan dalam unggahan warganet sebagai bentuk sindiran tajam terhadap realitas yang terjadi. Salah satu komentar yang mendapat ratusan tanda suka menuliskan: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tapi nyatanya, yang adil hanya untuk segelintir.” (*)