Sinata.id – Anggota DPR, Muazzim Akbar, melontarkan kritik tajam dalam rapat kerja Komisi IX DPR RI terkait proses perekrutan tenaga kerja di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur Program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Bukan tanpa alasan, Muazzim mengungkap sebuah temuan mengejutkan, ada satu unit SPPG yang ternyata diisi hingga 47 karyawan dari satu keluarga saja.
“Saya lihat ada SPPG yang pekerjanya anak, istri, ponakan, bahkan besan pengelola. Jadi total 47 orang, semua dari keluarganya sendiri,” ungkap Muazzim dalam rapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (1/10/2025).
Lapangan Kerja Tak Terserap
Padahal, jelas Muazzim, keberadaan SPPG seharusnya menjadi ruang untuk membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar. “Harapan kita kan supaya tenaga kerja lokal terserap. Tapi kenyataannya malah jadi ajang nepotisme,” katanya.
Ia bahkan mencontohkan kasus lain di Bali. Di sana, sebuah SPPG justru mendatangkan 21 pekerja dari Jawa lewat koperasi kepolisian. “Mereka memang profesional, bisa masak dengan standar, tapi tetap saja minim pekerja lokal yang direkrut,” ujarnya.
Muazzim menekankan, pekerjaan di dapur MBG bukan sekadar memasak, melainkan juga menjaga standar keamanan pangan. Ia mengingatkan pentingnya pelatihan bagi karyawan, mulai dari cara mengolah hingga menyajikan makanan siap saji.
“Kalau makanan dibiarkan terlalu lama, bisa berpotensi keracunan. Jadi pelatihan itu mutlak, bukan sekadar asal rekrut,” tegasnya.
Pengusaha Diduga Kuasai Banyak Dapur
Lebih jauh, Muazzim mengkritisi praktik lain yang tak kalah mengkhawatirkan: ada pengusaha yang disebut mengendalikan hingga tujuh SPPG sekaligus. “Seleksi berikutnya harus lebih ketat. Jangan sampai SPPG jadi monopoli segelintir pihak,” ujarnya.
Pernyataan Muazzim itu disampaikan langsung kepada Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, yang hadir dalam rapat. Ia meminta BGN memperketat aturan seleksi dan memastikan perekrutan benar-benar berdasarkan kompetensi, bukan kedekatan keluarga.
Sementara itu, anggota Komisi IX lainnya, Irma Suryani Chaniago, menyoroti lemahnya koordinasi di tubuh BGN. Ia menegaskan, tanpa kejelasan tanggung jawab antarpejabat, fungsi pengawasan DPR akan sulit berjalan.
“Bagaimana kami bisa mengawasi kalau tidak jelas siapa bertanggung jawab atas apa?” tegas Irma. (A46)