Jakarta, Sinata.id – DPR RI sampaikan keterangan pada Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materil dua undang-undang (UU) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Adapun UU yang diuji diantaranya, perkara Nomor 181/PUU-XXIII/2025 tentang Pengujian UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), serta Perkara Nomor 182/PUU-XXIII/2025 tentang Pengujian UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 2 Tahun 2025.
Anggota Komisi III DPR RI Sarifuddin Sudding menjelaskan bahwa ketentuan dalam Pasal 292 UU Kepailitan telah disusun secara konstitusional dan memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat dalam proses kepailitan, baik kreditor maupun debitur.
Menurut Sudding, keadaan insolvensi (tidak mampu membayar) sebagaimana diatur dalam pasal tersebut terjadi secara otomatis dalam kondisi tertentu, yakni ketika perdamaian ditolak, tidak disetujui, atau dibatalkan oleh pengadilan. Dengan demikian, ketentuan tersebut tidak menimbulkan kekosongan hukum sebagaimana didalilkan pemohon.
“Masalah yang diajukan pemohon lebih berkaitan dengan implementasi norma, bukan inkonstitusionalitasnya. Pasal 292 justru memberikan kepastian hukum bagi kurator dan kreditor dalam melaksanakan proses kepailitan,” ujar Sudding dalam Sidang Pleno MK yang disampaikan secara virtual di Gedung Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta, Selasa (11/11/2025).
Diketahui, Aturan mengenai batas dimulainya keadaan insolvensi dalam Penjelasan Pasal 292 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan) diuji ke Mahkamah Konstitusi.
Sidang perdana Perkara Nomor 181/PUU-XXIII/2025 yang diajukan oleh Sandi Ebenezer Situngkir ini digelar pada Jumat (10/10/2025).
Penjelasan Pasal 292 UU Kepailitan menyatakan, “Ketentuan dalam pasal ini berarti bahwa putusan pernyataan pailit mengakibatkan harta pailit Debitur langsung berada dalam keadaan insolvensi”. Dalam Pasal 57 ayat (1) UU Kepailitan, insolvensi sendiri memiliki definisi sebagai keadaan tidak mampu membayar.
Menurut Pemohon, pasal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum mengenai penentuan awal dimulainya keadaan insolvensi dalam proses kepailitan dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pemohon menjelaskan, Pasal 178 UU Kepailitan secara tegas mengatur tiga keadaan yang menyebabkan debitor berada dalam kondisi insolvensi, yakni: tidak adanya rencana perdamaian, rencana perdamaian tidak diterima, atau penolakan pengesahan perdamaian melalui putusan berkekuatan hukum tetap.
Namun, berbeda dengan Pasal 178 UU Kepailitan, Penjelasan Pasal 292 UU Kepailitan justru secara otomatis menyatakan bahwa debitur langsung berada dalam keadaan insolvensi tanpa melalui tahapan rencana perdamaian.
“Frasa ‘tidak dapat ditawarkan suatu perdamaian’ dalam Pasal 292 berimplikasi bahwa debitor seketika berada dalam keadaan insolvensi. Namun, ketentuan mengenai kapan tepatnya keadaan itu dimulai tidak dijelaskan secara rigid, sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi kurator maupun kreditor,” ujar Simeon Fernandes Marolop selaku kuasa hukum di hadapan Majelis Hakim Konstitusi.
Pemohon menilai ketidakpastian tersebut berdampak langsung pada profesi kurator dalam menentukan waktu pemberesan harta pailit.
Hal ini juga berpengaruh terhadap hak eksekusi kreditor separatis sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1) dan Pasal 159 ayat (1) UU 37/2004, yang mewajibkan pelaksanaan hak eksekusi paling lambat dua bulan setelah debitor berada dalam keadaan insolvensi.
Judicial Review UU Minerba
Sementara itu, dalam perkara pengujian UU Minerba, DPR RI menilai bahwa Pasal 119 huruf c yang mengatur pencabutan izin usaha pertambangan (IUP/IUPK) bagi perusahaan yang dinyatakan pailit merupakan bagian dari pengawasan administratif negara yang sah dan konstitusional.
“Pencabutan izin tambang bagi perusahaan pailit adalah bentuk pengawasan administratif berdasarkan asas contrarius actus, di mana pemerintah yang memberikan izin juga berwenang mencabutnya,” jelasnya.
Sudding menambahkan bahwa izin usaha pertambangan bukan merupakan harta kebendaan, melainkan bentuk izin publik yang diberikan oleh negara. Oleh karena itu, izin tersebut tidak dapat dimasukkan ke dalam boedel pailit dan tidak menjadi objek jual beli dalam proses kepailitan.
Dalam keterangannya, DPR RI juga menegaskan bahwa permohonan pemohon terkait UU Minerba tidak lagi relevan, mengingat ketentuan yang diuji telah diubah melalui UU No. 3 Tahun 2020 dan UU No. 2 Tahun 2025.
“DPR menilai dalil pemohon keliru karena menguji pasal yang sudah diperbarui. Norma baru justru memperkuat peran negara dalam menjaga keberlanjutan lingkungan, kepastian investasi, dan kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan Pasal 33 UUD 1945,” imbuh Politisi Fraksi PAN ini.
Melalui keterangan tersebut, DPR RI menegaskan komitmennya untuk menghormati seluruh proses persidangan di Mahkamah Konstitusi serta terus memastikan setiap undang-undang yang disusun memiliki dasar konstitusional yang kuat dan menjamin kepastian hukum bagi masyarakat. (*)
Sumber: Parlementaria