Jakarta, Sinata.id – Gelar pahlawan nasional pertama diberikan Presiden Soekarno kepada seorang wartawan. Dia adalah Abdul Muis. Selain wartawan, Abdul Muis juga dikenal sebagai pengarah, penulis dan aktivis politik.
Penerima gelar pahlawan nasional pertama ini, semasa berjuang, aktif di Syarikat Islam. Dimana, pada zamannya, pergerakan Abdul Muis kerap membuat penjajah Belanda, curiga. Sehingga, aktivitas Abdul Muis kerap dikuntit inteligen Belanda.
“Abdul Muis ditetapkan sebagai pahlawan nasional pertama. Abdul Muis ini pengarah, penulis. Dia seorang penulis, wartawan, aktivis politik, dan aktif di Syarikat Islam,” ucap Bonie Triyana, Anggota Komisi X DPR RI yang juga sejarawan, Jumat 7 Nopember 2025, sebagaimana dilansir dari Parlementaria.
Kata Bonie, gelar pahlawan nasional, pertama kali diberikan pada tahun 1950-an. Itu dilakukan untuk memperkokoh identitas bangsa yang baru merdeka.
Saat itu, Presiden Soekarno menetapkan Abdul Muis sebagai pahlawan nasional pertama di Indonesia, karena dedikasinya saat berjuang melawan Belanda.
“Pada 1950, Bung Karno kemudian berembuk untuk memberikan gelar pahlawan kepada mereka yang berjuang secara fisik. Berjuang yang melawan Belanda, bahkan menjadi korban penjajahan Belanda,” ujarnya dalam menyikapi rencana pemberian gelar kepada Presiden RI ke-2, Soeharto.
Katanya, gelar pahlawan nasional harus diberikan pada sosok yang tidak memiliki sejarah kelam. Sehingga prosesnya haruslah memperhatikan fakta sejarah secara utuh.
Bonie menjelaskan, istilah pahlawan memiliki makna yang mendalam dan berakar. Kata pahlawan berasal dari bahasa Sanksrit (Sansakerta), yang artinya pahala.
“Pahala itu artinya buah, hasil. Lalu wan itu ditambahkan karena dia menunjukkan kepemilikan. Jadi, Pahlawan adalah orang yang menerima hasil sebagai akibat dari apa yang dia lakukan,” ucap Bonnie.
Terkait wacana pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto, Bonnie menyinggung soal syarat ketat yang harus dijadikan sebagai pertimbangan.
Menurut Bonie, gelar pahlawan nasional agar diberikan kepada sosok yang tidak memiliki sejarah kelam. Sehingga, untuk proses pemberian gelar harus memperhatikan fakta sejarah secara utuh.
“Tidak boleh punya cacat yang bisa membuat nilai-nilai perjuangannya jadi terkurangi. Nah, itu syaratnya,” sebutnya. (*)