Oleh Doni Arief MA (Dosen STAI Samora)
Gerakan Green Islam sering disebut Eco Islam atau Islam Hijau, merupakan sebuah pendekatan religius yang menggabungkan ajaran Islam dengan gerakan pelestarian lingkungan.
Pada dasarnya, gerakan ini berangkat dari keyakinan bahwa menjaga alam bukan sekadar aktivitas sosial atau ekologis. Tetapi bagian dari ibadah dan manifestasi peran manusia sebagai khalifah di muka bumi.
Dalam perspektif ini, energi spiritual dan nilai-nilai Islam dijadikan landasan etika lingkungan yang mendorong umat untuk merespons persoalan ekologis seperti perubahan iklim, polusi, dan kerusakan alam.
Warna hijau yang sangat disukai oleh Nabi Muhammad SAW kemudian menjadi simbol harapan, kehidupan, dan komitmen ekologis umat Islam.
Ajaran Islam menyediakan dasar teologis yang kuat tentang hubungan manusia dan alam. Al-Qur’an berulang kali mengingatkan manusia sebagai khalifah yang bertugas menjaga keberlangsungan bumi, sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. Al-Baqarah: 30:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi.”
Ayat ini menegaskan bahwa manusia bukan penguasa yang bebas mengeksploitasi, melainkan pengelola yang memikul amanah.
Larangan berlebihan dan merusak lingkungan juga ditegaskan dalam firman Allah pada Q.S. Al-A’raf: 31: “Makan dan minumlah, tetapi janganlah berlebih-lebihan.”
Senada dengan itu, Q.S. Ar-Rum:
41 mengingatkan, bahwa kerusakan di darat dan laut adalah akibat perbuatan manusia sendiri.
Bahkan, keseimbangan ekologis atau mizan digarisbawahi dalam Q.S. Ar-Rahman: 7–8 agar manusia tidak merusak harmoni alam.
Hadis Nabi pun mendukung etika keberlanjutan ini. Dalam riwayat Imam Muslim terdapat sabda: “Jika kiamat tiba dan di tangan salah seorang dari
kalian ada bibit kurma, maka tanamlah.”
Hadis itu menggambarkan bahwa menanam dan merawat lingkungan adalah amal yang bernilai meski di tengah situasi yang tampaknya tidak lagi menyisakan harapan.
Dalam perkembangan modern, Green Islam muncul sebagai respons terhadap dampak industrialisasi, perubahan iklim, dan eksploitasi sumber daya alam yang semakin parah.
Negara-negara dengan mayoritas Muslim seperti Indonesia, Malaysia, Iran, dan Turki menjadi pelopor munculnya gerakan ini sejak awal 2000-an.
Di Indonesia sendiri, perhatian terhadap isu lingkungan sesungguhnya telah dimulai sejak 1980-an melalui gerakan NU dan Muhammadiyah yang kemudian berkembang menjadi eco-pesantren pada dekade 2010-an.
Pada tingkat global, Islamic Declaration on Global Climate Change yang dikeluarkan tahun 2015 memperkuat komitmen umat Islam untuk ikut serta dalam agenda keberlanjutan dunia dan bersinergi dengan target-target internasional, termasuk Paris Agreement.
Baca juga: Memaknai Perbedaan Gender dalam Islam
Krisis ekologis yang dihadapi dunia saat ini kian kompleks. Deforestasi, polusi udara dan laut, emisi gas rumah kaca, hingga hilangnya keanekaragaman hayati menjadi dampak nyata dari aktivitas manusia yang tidak berpihak pada keseimbangan alam.
Indonesia yang memiliki kekayaan hutan tropis namun juga tingkat deforestasi tinggi, menghadapi masalah serius seperti pembakaran lahan, penambangan ilegal, dan kerusakan ekosistem pesisir.
Secara global, perubahan iklim memicu banjir, kekeringan, dan suhu ekstrem yang paling dirasakan oleh kelompok masyarakat yang paling rentan.
Kerusakan lingkungan ini bukan hanya persoalan fisik, tetapi juga spiritual, karena mencerminkan hilangnya kesadaran manusia terhadap nilai tawadhu’ dan amanah terhadap alam.
Gerakan Green Islam menawarkan pendekatan berbasis nilai keagamaan yang lebih menyeluruh. Di Indonesia, berbagai inisiatif telah lahir, seperti Pesantren Hijau yang menerapkan pengelolaan limbah, budidaya pertanian organik, dan pemanfaatan energi
terbarukan.
Masjid Istiqlal menjadi salah satu pelopor dengan penerapan panel surya, sistem daur ulang air, dan sertifikasi masjid ramah lingkungan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa merusak lingkungan adalah perbuatan haram.
Langkah ini memberikan legitimasi moral sekaligus mendorong pemerintah dan masyarakat intuk menindak tegas aktivitas yang merusak ekosistem.
Gerakan lain seperti Bumi Langit
Permaculture Farm memadukan spiritualitas tawhid dengan praktik pertanian regeneratif, sementara berbagai pesantren telah mengembangkan biofuel berbasis tumbuhan sebagai alternatif energi.
Secara keseluruhan, Green Islam memperlihatkan bahwa agama dapat menjadi kekuatan moral yang signifikan dalam menghadapi krisis lingkungan modern.
Dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadis tidak hanya memotivasi tindakan pelestarian alam, tetapi juga menghidupkan kembali hubungan spiritual manusia dengan bumi.
Ke depan, kolaborasi antara ulama, akademisi, pemerintah, dan masyarakat menjadi kunci agar gerakan ini menyebar lebih luas, sehingga bumi tetap lestari sebagai amanah Allah SWT bagi generasi mendatang. (*)