Nagan Raya, Sinata.id – Puluhan tahun lamanya perusahaan perkebunan kelapa sawit beroperasi di Kabupaten Nagan Raya dengan memanfaatkan Hak Guna Usaha (HGU). Namun, hingga kini, kewajiban mereka untuk membangun kebun plasma sebesar 20 persen dari total lahan yang dikuasai tidak kunjung terealisasi.
Kondisi ini menimbulkan tanda tanya besar mengenai hak masyarakat yang seharusnya dijamin oleh regulasi nasional.
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 18 Tahun 2021 mewajibkan setiap perusahaan perkebunan menyediakan kebun plasma minimal 20 persen dari HGU. Ketentuan tersebut juga diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Laporan masyarakat menyebut, hingga saat ini tidak ada perusahaan di Nagan Raya yang benar-benar menyalurkan plasma. Ironisnya, sertifikat hak milik (SHM) atas nama warga penerima plasma dari PT Fajar Baizury justru beralih menjadi milik keluarga perusahaan.
“Ini bentuk pengkhianatan terhadap undang-undang dan ketidakadilan yang dibiarkan terlalu lama. Puluhan ribu hektare dikuasai korporasi, sementara rakyat tidak mendapatkan apa pun,” ungkap salah seorang tokoh masyarakat dengan nada kecewa.
Kabupaten Nagan Raya memiliki lahan perkebunan sawit lebih dari 90 ribu hektare. Artinya, sedikitnya 18 ribu hektare plasma seharusnya menjadi hak rakyat. Namun kenyataannya, tidak ada yang terwujud.
PT Fajar Baizury & Brothers bahkan pernah menyampaikan surat resmi pada 10 Oktober 2014 kepada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Nagan Raya. Dalam surat tersebut, perusahaan menyebut program plasma seluas 1.526 hektare di enam gampong terhambat karena status lahan tidak “clean and clear”. Dari enam lokasi yang direncanakan, hanya Gampong Lawa Batu, Kecamatan Kuala, yang bisa dilanjutkan, itupun hanya 36 hektare dari target 224 hektare.
Hampir satu dekade kemudian, kondisi tidak banyak berubah. “Plasma bukan sekadar angka di proposal, melainkan hak masyarakat. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, tanah adat diambil, janji plasma terus ditunda,” tegas Ketua LSM GMBI Aceh, Zulfikar Zainal.
Minimnya realisasi plasma juga mencerminkan lemahnya pengawasan pemerintah, baik di tingkat daerah maupun pusat. Dedek, salah seorang aktivis masyarakat, menilai Pemkab Nagan Raya tidak bersungguh-sungguh menagih kewajiban perusahaan.
“Jika pemerintah serius, mereka bisa mendesak perusahaan, bahkan mengusulkan pencabutan HGU kepada Kementerian ATR/BPN. Tetapi faktanya, semua tutup mata,” ujarnya.
Padahal, Surat Edaran Menko Perekonomian Nomor TAN.03/128/M.EKON/11/2020 sudah mengatur bahwa perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban plasma dapat dikenakan sanksi administratif hingga pencabutan HGU. Namun, hingga kini, tidak ada langkah konkret diambil terhadap perusahaan sawit di Nagan Raya.
Program plasma sejatinya dirancang agar masyarakat sekitar perkebunan turut merasakan manfaat ekonomi dari keberadaan perusahaan. Akan tetapi, di Nagan Raya, situasinya justru berbanding terbalik. Warga menjadi penonton di tanah sendiri tanpa memperoleh hak yang semestinya.
“Kalau plasma saja tidak diberikan, lalu apa kontribusi nyata perusahaan kepada rakyat? Jangan sampai tanah subur ini hanya menjadi ladang emas bagi korporasi, tetapi meninggalkan gurun harapan bagi masyarakat lokal,” pungkas Zulfikar.
Ia juga mendesak Gubernur Aceh Muzakir Manaf bersama Kapolda Aceh untuk turun tangan menyelesaikan konflik agraria yang telah berlangsung terlalu lama dan merugikan masyarakat. (SN7)