Oleh
Rudi Wu SPd, SH, MH, SAg
Wakil Ketua Permabudhi Medan
Namo Buddhaya, Sukhi Hontu dan Salam Bahagia
Delapan puluh tahun sudah bangsa Indonesia merdeka sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan baru diperingati secara nasional pada 17 Agustus 2025.
Kemerdekaan itu diraih dari perjuangan dan pengorbanan yang tidak sedikit, cukup panjang lahir maupun batin serta segenap jiwa raga, oleh segenap anak bangsa negeri ini, yang layak disebut para pahlawan bangsa.
Hal tersebut mengingatkan kita bahwa kemerdekaan, jelas bukanlah hadiah dari siapapun bahkan bukan turun dari langit, melainkan buah hasil upaya keras dalam pengorbanan; darah, dan air mata yang diluar batas kemanusiaan.
Namun, hakikat kemerdekaan sejati tidak semata terbebas dari penindasan fisik. Kemerdekaan delapan puluh tahun lalu juga bukan akhir segalanya. Ini merupakan awal langkah ke selanjutnya.
Generasi penerus anak bangsa ini memiliki tugas dan tanggung-jawab selanjutnya dalam menjaga, merawat serta mengisi kemerdekaan dengan pembangunan, kinerja dan prestasi memajukan dan memakmur bangsa yang adil, beradab dan harkat martabat tinggi.
Sejatinya, perlu disadari bahwa ada penjajahan yang tidak kasat mata, berwujud sangat halus, sehingga sering tidak disadari, yakni penjajahan batin. Dimana manusia yang masih diperbudak oleh keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kebodohan (moha), sejatinya belum menghirup udara kemerdekaan.
Di sinilah ajaran Buddhisme memberi makna mendalam tentang apa yang disebut kemerdekaan hakiki. Dalam Dhammapada 103, Sang Buddha berkata: “Lebih mulia menaklukkan diri sendiri daripada menaklukkan ribuan musuh di medan perang.”
Pesan ini menyadarkan kita bahwa perjalanan bangsa, setelah terlepas dari penjajah luar, tantangan kita berikutnya, adalah menaklukkan musuh dalam diri, yakni nafsu keserakahan, kebencian, kebodohan dan keangkuhan yang sering menggerogoti kehidupan pribadi maupun bangsa.
Dalam Mahāsatipaṭṭhāna Sutta (DN 22), Sang Buddha mengajarkan empat landasan perhatian penuh (satipaṭṭhāna): kesadaran pada tubuh, perasaan, pikiran, dan dhamma. Dengan melatih perhatian penuh, manusia dapat melihat segala sesuatu sebagaimana adanya: tidak kekal (anicca), penuh penderitaan (dukkha), dan tanpa inti diri (anattā).
Jika dipahami dengan benar hal diatas, maka akan menjauhkan kita dari belenggu keterikatan. Juga patut diwaspadai, karena di dalam Ādittapariyāya Sutta (SN 35.28), Sang Buddha menggambarkan bahwa indera kita sangat mudah terbakar oleh nafsu, kebencian, dan delusi. Pencapaian kemerdekaan hakiki lahir ketika “api” ini padam, yaitu saat batin mencapai kedamaian sejati, disebut “Nibbāna”.
Di usia ke-80 tahun kemerdekaan, bangsa Indonesia perlu merenung, apakah kita sudah benar-benar merdeka? Memang, kita bebas menentukan nasib politik dan pembangunan. Namun, sering kali sebagian dari kita masih menjadi budak keserakahan, kebencian, kebodohan, sehingga kerap bertingkah korup, menebar kebencian untuk memecah belah, serta menghalangi jalan menuju kemajuan.
Bila bangsa ingin mewujudkan cita-cita luhur para pendiri keadilan sosial, persatuan, dan kesejahteraan, sebagaimana tercantum didalam alenia pembukaan UUD 1945, maka perjuangan harus dilanjutkan di ranah batin, dimana setiap individu dituntut mempertahankan kemerdekaan dari dalam dirinya sendiri, hingga tercapai revolusi mentalitas yang sebagimana mestinya.
Perlu dipahami bersama, kemerdekaan hakiki bukan berarti bebas melakukan apa saja seenak perut, melainkan bebas dari ketiga belenggu kuat diatas, yang mengotori dan menyiksa batin.
Seseorang yang mampu tetap tenang di tengah badai, tidak larut dalam nafsu keserakahan, tidak dikuasai kebencian, dan bijaksana menghadapi sikon perubahan, dialah disebut manusia yang merdeka sejati.
Bangsa Indonesia akan mampu mewujudkan kemerdekaan hakiki, jika para elit, aparatur dan segenap pemangku kebijakannya bebas dari keserakahan, kebencian, dan kebodohan. Kemerdekaan luar dan dalam harus berjalan seiring dan bersama.
Singkat kata, HUT RI ke-80 bukan hanya perayaan, tetapi juga ajakan untuk merenung diri lebih dalam dan jauh. Mari kita jaga kemerdekaan lahiriah bangsa, sembari berjuang untuk kemerdekaan batiniah sebagaimana diajarkan Sang Buddha. Sebab hanya dengan kebebasan lahir dan batin, cita-cita Indonesia yang berdaulat, adil, dan makmur dapat sungguh terwujud secara ideal realitis.
Idam Vo Natinam Hotu, Sukhita Hontu Natayo, semoga semua musim berjalan semestinya. Semoga dunia maju dan pesat serta selalu bahagia dan damai. Semoga pemerintah/pemimpin berlaku lurus.
Sabbe Satta Bhavanttu Sukhitatta. Semoga Semua Makhluk Berbahagia. (*)