Beijing, Sinata.id — Persaingan global di sektor internet satelit memasuki babak baru setelah Huawei mengumumkan rencana peluncuran 10.000 satelit 6G dalam beberapa tahun mendatang. Konstelasi satelit generasi terbaru ini digadang-gadang dapat menggeser dominasi Starlink, layanan internet satelit milik SpaceX yang selama ini memimpin pasar global.
Berbeda dengan Starlink yang mengandalkan satelit orbit rendah (LEO), Huawei mengembangkan sistem hybrid yang memadukan satelit orbit rendah dan menengah (MEO). Pendekatan ini memungkinkan jangkauan lebih luas, efisiensi lebih tinggi, serta masa pakai satelit yang lebih panjang—antara 12 hingga 15 tahun—dibandingkan dengan satelit Starlink yang rata-rata hanya bertahan lima tahun.
Dikutip Sinata.id pada Sabtu (24/5/2025) dari Laporan Kementerian Perindustrian dan Teknologi Informasi Tiongkok menyebutkan bahwa pada tahun 2024, satelit 6G Huawei mampu menawarkan kecepatan transmisi data hingga 1 terabita per detik—sekitar 100 kali lebih cepat dari jaringan 5G saat ini.
Teknologi ini juga memanfaatkan AI untuk mengatur lalu lintas data secara dinamis dan real-time, mengurangi latensi menjadi di bawah 10 milidetik. Sebagai perbandingan, Starlink mencatat latensi antara 20 hingga 40 milidetik.
Menurut Morgan Stanley, biaya operasional Huawei diperkirakan 40% lebih rendah dibanding Starlink pada 2027. Ini berkat investasi sebesar USD 20 miliar di divisi satelit Huawei, serta efisiensi rantai pasokan yang didukung oleh ekosistem manufaktur dalam negeri.
Sistem satelit Huawei juga dirancang dengan jaringan peer-to-peer, mengurangi ketergantungan pada stasiun bumi yang selama ini menjadi kelemahan utama Starlink. Pendekatan ini dinilai lebih tangguh terhadap potensi gangguan infrastruktur dan lebih cocok untuk menjangkau wilayah terpencil secara stabil.
Dalam aspek keamanan, Huawei juga menawarkan teknologi enkripsi kuantum yang diklaim lebih aman untuk komunikasi militer dan keuangan, didukung oleh investasi USD 5 miliar dalam teknologi siber. Starlink, yang saat ini memimpin pasar broadband satelit komersial, belum menawarkan fitur serupa.
Ekspansi Huawei ini juga membawa dampak geopolitik. Wall Street Journal mencatat bahwa jaringan satelit 6G Huawei diperkirakan akan mencakup 90% permukaan bumi pada tahun 2030.
Negara-negara seperti Pakistan, Brasil, dan Afrika Selatan telah menandatangani perjanjian awal dengan Huawei untuk menguji coba layanan internet satelit nasional. Hal ini menimbulkan kekhawatiran di Washington terkait potensi kontrol Tiongkok atas lalu lintas data global.
Amerika Serikat dan sekutunya telah merespons dengan mempercepat pengembangan alternatif melalui kolaborasi antarlembaga dan perusahaan swasta. Total investasi senilai USD 35 miliar telah disiapkan untuk membangun jaringan satelit LEO dan MEO guna menyaingi dominasi Tiongkok di ruang angkasa.
Sementara itu, Starlink menghadapi tantangan dari segi biaya dan strategi distribusi. Layanan internet Starlink dikenakan tarif sebesar USD 599 untuk perangkat terminal dan USD 110 per bulan, harga yang sulit dijangkau oleh banyak negara berkembang. Sebaliknya, Huawei menawarkan skema pembiayaan infrastruktur jangka panjang melalui pinjaman dari bank milik negara senilai USD 1,9 miliar.
Dalam jangka panjang, kehadiran Huawei dalam industri satelit diprediksi akan mengancam model bisnis tradisional operator telekomunikasi global. Laporan GSMA 2024 memperkirakan bahwa perusahaan telekomunikasi bisa kehilangan pendapatan hingga USD 200 miliar pada tahun 2035 jika jaringan satelit menggantikan infrastruktur berbasis darat.
Kini, pertarungan dominasi internet satelit tidak lagi sekadar persaingan teknologi, namun juga pertarungan geopolitik yang menentukan arah konektivitas digital dunia. Dengan strategi agresif, teknologi canggih, dan dukungan negara, Huawei siap menjadi pemain utama dalam infrastruktur internet global. (*)