Sinata.id – Tensi panas antara dua raksasa ekonomi dunia kembali mengguncang pasar global. Washington dan Beijing saling lempar kebijakan dagang baru, pasar saham di seluruh dunia ikut bergetar. Tak terkecuali Indonesia. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diperkirakan hanya akan bergerak dalam rentang sempit pekan ini, di tengah badai sentimen global yang tak kunjung reda.
Pekan ini, pelaku pasar di Tanah Air diminta bersiap menghadapi gejolak yang bisa datang kapan saja. Dua lembaga sekuritas besar, Phintraco Sekuritas dan BNI Sekuritas, kompak memprediksi pergerakan IHSG akan terbatas di kisaran 8.100 hingga 8.300.
Tekanan global datang dari Amerika Serikat. Presiden Donald Trump secara mengejutkan mengumumkan tarif tambahan sebesar 100 persen terhadap impor dari Tiongkok serta pembatasan ekspor perangkat lunak penting buatan AS mulai 1 November 2025. Keputusan sepihak itu sontak memicu kepanikan pasar.
Langkah ini disebut sebagai balasan terhadap kebijakan Beijing yang baru saja memperketat ekspor mineral tanah jarang, komponen vital untuk pembuatan chip, kendaraan listrik, hingga sistem pertahanan modern.
Menurut riset Phintraco Sekuritas, situasi ini berpotensi mengacaukan rantai pasok global, terutama di sektor teknologi yang sangat bergantung pada bahan baku dari Tiongkok.
“Ketegangan dagang ini bisa menjadi tekanan jangka pendek bagi investor global, apalagi di tengah musim laporan keuangan kuartal III,” tulis mereka dalam riset Senin (13/10/2025).
Efek Domino di Wall Street dan Asia
Tak butuh waktu lama, pasar modal dunia langsung bereaksi. Wall Street anjlok tajam pada akhir pekan lalu.
-
Dow Jones Industrial Average turun 1,90%,
-
S&P 500 terkoreksi 2,71%,
-
dan Nasdaq Composite terperosok 3,56%.
Saham teknologi jadi korban terbesar. Perusahaan-perusahaan raksasa asal Tiongkok seperti Alibaba, JD.com, dan PDD Holdings ikut terseret, masing-masing turun antara 5% hingga 8,5%. Bahkan, Qualcomm harus menelan pil pahit dengan penurunan 7,3% setelah otoritas Tiongkok membuka penyelidikan antimonopoli atas akuisisinya terhadap Autotalks Israel.
Gelombang koreksi pun menjalar ke Asia.
-
Nikkei 225 Jepang merosot 1,01%,
-
Topix melemah 1,85%,
-
Hang Seng Hong Kong anjlok 1,73%,
-
dan Shanghai Composite turun 0,94%.
Pasar Asia Tenggara pun tak lepas dari imbasnya. Indeks FTSE Straits Times Singapura tergelincir 0,30%, sementara KLCI Malaysia melemah 0,46%.
IHSG Masih Bertahan di Zona Positif
Meski angin global bertiup kencang, IHSG masih sempat menutup perdagangan pekan lalu dengan kenaikan tipis 0,08%, ditopang aksi beli bersih asing senilai Rp1,18 triliun. Saham-saham seperti CDIA, WIFI, ANTM, BRPT, dan CUAN menjadi incaran utama investor asing.
Namun, BNI Sekuritas mengingatkan bahwa penguatan ini bisa saja bersifat sementara. Secara teknikal, potensi koreksi masih terbuka lebar dengan support di 8.000–8.150 dan resistance di 8.270–8.300.
“Pelemahan bursa global menjadi faktor penentu arah IHSG dalam waktu dekat,” tulis tim riset BNI Sekuritas.
Ketegangan politik dan ekonomi kini semakin menebal. Dalam unggahan di platform Truth Social, Presiden Trump menegaskan bahwa dirinya tidak berencana bertemu Presiden Xi Jinping dalam waktu dekat. Ia juga menyebut masih banyak langkah balasan yang sedang disiapkan terhadap Beijing.
Pernyataan keras itu langsung memperdalam kekhawatiran pasar. Investor kini menahan diri, menunggu arah kebijakan selanjutnya dari kedua negara adidaya tersebut.
Selain itu, ancaman penutupan sebagian layanan pemerintahan AS (government shutdown) yang telah memasuki pekan ketiga turut menambah ketidakpastian. Sementara dari Asia, pasar masih menanti data perdagangan, inflasi, dan aktivitas perbankan terbaru dari Tiongkok yang akan jadi barometer kesehatan ekonomi regional.
Di tengah guncangan global, pasar Indonesia menaruh harapan pada rilis data Foreign Direct Investment (FDI) kuartal III-2025 pada 15 Oktober. Data ini diharapkan memberi sinyal positif terkait arus modal asing yang dapat menahan gejolak eksternal.
Secara teknikal, Phintraco menilai IHSG masih berpeluang melanjutkan penguatan terbatas, terutama jika investor asing terus masuk. Namun, risiko pelemahan tetap membayangi, terutama bila perang dagang AS–Tiongkok semakin meningkat dan memicu arus keluar dana asing dari negara berkembang. [zainal/a46]