Sinata.id – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang awalnya digadang-gadang sebagai terobosan pemenuhan gizi anak sekolah, kini justru berubah menjadi badai kontroversi. Kasus keracunan massal di berbagai daerah membuat kepercayaan publik merosot tajam, dan pemerintah akhirnya turun tangan.
Orang tua yang dulu lega anaknya mendapat asupan gizi dari dapur MBG, kini justru dilanda cemas setiap kali jam makan tiba. Di balik slogan “Gizi untuk Generasi Emas”, laporan demi laporan keracunan muncul dari berbagai daerah.
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, akhirnya mengambil langkah tegas. Sebanyak 106 dapur penyedia makanan MBG resmi dihentikan operasionalnya setelah dinilai tidak memenuhi standar kelayakan.
“Sekarang ada 106 dapur yang kami hentikan operasionalnya. Baru 12 yang sudah kami rilis secara resmi,” ujar Dadan, dikutip Selasa (21/10/2025).
Penutupan massal dapur MBG ini disebut sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam melindungi jutaan anak penerima program. Dadan menjelaskan, pihaknya kini bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan untuk memperbarui data keracunan secara real time.
Baca Juga: Indonesia Jadi Negara Pertama Miliki Lahan di Kota Suci Makkah
Data tersebut bahkan akan dibuka untuk publik melalui situs resmi BGN, bertepatan dengan rampungnya Peraturan Presiden tentang Tata Kelola MBG yang akan segera diterbitkan.
“Kita targetkan 82,9 juta penerima bisa tercapai hingga akhir 2025, paling lambat Februari 2026,” tambahnya.
Chef sekaligus podcaster populer Ray Janson menjadi salah satu yang paling vokal menyoroti krisis ini. Dalam tayangan Ray Janson Radio di YouTube, ia menilai langkah pemerintah terlalu lambat.
“JPPI mencatat lebih dari 10 ribu anak menjadi korban keracunan MBG. Penutupan 106 dapur seharusnya dilakukan jauh lebih cepat, bukan setelah korban terus bertambah,” tegas Ray.
Sementara itu, Ruben, seorang pengusaha katering sehat, mengusulkan agar Indonesia meniru sistem Kyushoku di Jepang, di mana orang tua ikut turun tangan menyiapkan makanan sekolah.
“Di Jepang, orang tua datang pagi-pagi membantu menyiapkan makanan anak-anak mereka. Sistem ini sudah berjalan sejak tahun 1930-an,” ungkapnya.
Menurut Ruben, keterlibatan langsung orang tua akan menumbuhkan rasa tanggung jawab bersama dan memperkecil risiko kelalaian dapur besar.
Dua Tim Khusus Turun Tangan
Di sisi lain, BGN memastikan bahwa investigasi tengah berjalan serius. Dua tim khusus telah dibentuk untuk menelusuri penyebab utama gelombang keracunan ini.
Wakil Kepala BGN, Nanik S. Deyang, menjelaskan bahwa investigasi melibatkan banyak lembaga, yaitu Polri, BIN, BPOM, Kementerian Kesehatan, serta pemerintah daerah.
“Dari internal kami ada Deputi Tauwas yang memantau dan mengawasi. Mereka bekerja sama dengan aparat dan lembaga lain agar hasilnya objektif,” jelas Nanik, Senin (29/9/2025) lalu.
Tim independen ini juga diperkuat oleh ahli kimia, farmasi, dan chef profesional. Mereka memeriksa rantai produksi, mulai dari kebersihan dapur, bahan baku, hingga cara penyajian.
Hasil awal menunjukkan bahwa sejak Januari hingga September 2025, sedikitnya 70 kasus keracunan telah dilaporkan, berdampak pada lebih dari 5.900 penerima MBG di berbagai daerah.
“Pendekatan multidisiplin ini penting. Tujuan kami bukan mencari kambing hitam, tapi memperbaiki sistem agar hal seperti ini tidak terulang,” tegas Nanik. [zainal/a46]