Sinata.id – Presiden Prabowo Subianto resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada tokoh pejuang asal Simalungun, Sumatera Utara, Tuan Rondahaim Saragih Garingging, dalam upacara kenegaraan di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025).
Penetapan melalui Keputusan Presiden Nomor 116/TK/Tahun 2025 itu menjadikan Rondahaim sebagai pahlawan nasional pertama dari Simalungun, dikenal sebagai “Napoleon der Bataks” karena keberaniannya memimpin perlawanan terhadap penjajahan Belanda di abad ke-19.
Tuan Rondahaim adalah satu dari sepuluh tokoh yang menerima penghargaan tertinggi negara tahun ini. Namanya menjadi sorotan publik bukan hanya karena sejarah heroiknya, tetapi juga karena untuk pertama kalinya, putra terbaik dari Tanah Habonaron Do Bona diakui sebagai pahlawan nasional.
Kebanggaan untuk Sumatera Utara
Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, menyebut penganugerahan ini sebagai momentum yang membanggakan bagi seluruh rakyat Sumut.
“Kita patut berbangga dan berbahagia hari ini. Dari sepuluh nama yang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, satu di antaranya adalah putra Simalungun, almarhum Tuan Rondahaim Saragih,” ujar Bobby, Senin (10/11/2025).
Bobby menuturkan, Rondahaim adalah sosok pemimpin yang tangguh dan cerdas. Ia dikenal sebagai Raja Raya Namabajan, penguasa Partuanan Raya (1828–1891), yang selama hidupnya tidak pernah tunduk pada kekuasaan kolonial Belanda.
“Belanda menjulukinya Napoleon dari Batak karena semangat juangnya luar biasa. Hingga akhir hayatnya, wilayah Raya tidak pernah jatuh ke tangan penjajah,” tegas Bobby.
Ia berharap semangat perjuangan Tuan Rondahaim menjadi inspirasi bagi generasi muda Sumut untuk menumbuhkan nasionalisme dan cinta tanah air.
“Kita harus meneladani semangat juangnya dengan berkontribusi nyata bagi kemajuan daerah dan bangsa,” imbuhnya.
Perjuangan “Napoleon dari Batak” Melawan Kolonialisme
Nama Tuan Rondahaim Saragih Garingging tercatat dalam sejarah sebagai raja ke-14 Kerajaan Raya. Ia lahir pada 1828 di Juma Simandei, Pematang Raya, dan memimpin perlawanan bersenjata melawan ekspansi kolonial Belanda antara tahun 1880 hingga 1891.
Ketika Belanda mulai membuka perkebunan secara sepihak di wilayah Simalungun, Rondahaim tidak tinggal diam. Ia membentuk pasukan tempur, mendatangkan guru-guru perang dari Tanah Gayo dan Aceh, bahkan menjalin aliansi strategis dengan Sisingamangaraja XII dan Tengku Muhammad dari Aceh.