Pematangsiantar, Sinata.id – Sidang perkara dugaan pungli parkir dengan terdakwa mantan Kepala Dinas Perhubungan (Kadishub) Kota Pematangsiantar, Julham Situmorang, akan kembali digelar pada Senin (8/9/2025).
Agenda sidang tersebut dijadwalkan untuk mendengarkan putusan sela atas eksepsi yang diajukan terdakwa melalui penasihat hukumnya.
Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasipidsus) Kejaksaan Negeri Pematangsiantar, Arga Hutagalung, membenarkan jadwal sidang lanjutan itu.
“Sidang keempat nanti di hari Senin, dengan agenda putusan sela atas nota keberatan yang diajukan terdakwa melalui kuasa hukumnya,” ujar Arga, Rabu (3/9/2025).
Menurut Arga, dalam sidang sebelumnya, 28 Agustus 2025, pihaknya menolak eksepsi/nota keberatan yang diajukan terdakwa sehingga sidang lanjutan mendengarkan putusan sela.
Dalam eksepsi tersebut, kuasa hukum terdakwa menyatakan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Medan tidak memiliki kewenangan memeriksa perkara karena dianggap bukan tindak pidana korupsi, melainkan sekadar persoalan administrasi.
JPU menegaskan bahwa alasan tersebut tidak dapat diterima, sebab perkara yang menjerat Julham berkaitan dengan tindak pidana korupsi dan sudah sesuai untuk disidangkan di Pengadilan Tipikor PN Medan.
Baca juga:
Upaya Hukum Terdakwa Kasus Dugaan Korupsi Julham Situmorang, Kandas
Julham Situmorang Dijemput Polisi usai Ngaku Dimintai Uang Rp200 Juta
Susul Julham Situmorang, Tohom Ditahan di Sel Polres Pematangsiantar
Arga menambahkan, dalam perkara ini, lima jaksa penuntut umum dilibatkan, yakni Arga Hutagalung, Ferdinan Tampubolon, Robert Damanik, Kurniawan Sinaga, dan Leonard Hasudungan.
Kasus dugaan korupsi ini mencuat dari penerbitan izin penutupan sementara trotoar dan area parkir di sekitar Rumah Sakit Vita Insani (RSVI).
Julham Situmorang diduga menerbitkan tiga surat keputusan tanpa menggunakan nama Wali Kota, kemudian meminta kompensasi sebesar Rp48,6 juta dari pihak RSVI.
Dana tersebut dibayarkan melalui stafnya, Tohom Lumban Gaol, dan selanjutnya diserahkan kembali kepada Julham.
Penyidik menemukan bahwa uang kompensasi tersebut tidak pernah disetorkan ke kas daerah maupun tercatat dalam sistem keuangan resmi pemerintah.
Atas perbuatannya, Julham dijerat dengan Pasal 12 huruf (e) jo Pasal 18 Undang-Undang Tipikor, yang mengatur ancaman pidana penjara seumur hidup atau paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, serta denda minimal Rp200 juta hingga Rp1 miliar.
Selain itu, jaksa juga menyertakan dakwaan subsider Pasal 11 jo Pasal 18 UU Tipikor, dengan ancaman pidana penjara 1–5 tahun dan denda Rp50 juta hingga Rp250 juta. (A58/SN14)