Sinata.id – Jagat maya baru-baru ini digemparkan oleh kemunculan sebuah istilah unik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Nama itu terdengar tidak biasa, bahkan terkesan tabu bagi sebagian orang: kentang jembut. Namun siapa sangka, di balik istilah yang memicu tawa sekaligus rasa penasaran ini, tersimpan cerita panjang tentang bahasa, tradisi kuliner, hingga manfaat kesehatan yang menarik untuk dibahas.
Ketika Kentang Jembut Jadi Trending
Kata kentang jembut pertama kali mencuri perhatian publik setelah diumumkan masuk dalam daftar kosakata KBBI edisi daring.
Informasi itu disebarkan oleh sebuah akun populer di media sosial X, @IndoPopBase, pada pertengahan September 2025.
Unggahan tersebut segera menjadi viral.
Hanya dalam hitungan jam, ratusan ribu warganet ikut menyoroti penambahan kosakata itu.
Banyak yang awalnya menganggap istilah tersebut hanya lelucon belaka, ciptaan kreator konten yang ingin mencari perhatian.
Namun ketika bukti tangkapan layar dari situs resmi KBBI beredar luas, keraguan berubah menjadi rasa penasaran massal.
Komentar bermunculan, mulai dari yang menganggap lucu, tidak percaya, hingga yang merasa kagum bahwa bahasa Indonesia begitu fleksibel mengakomodasi istilah lokal.
Seorang warganet bahkan menulis, “Kukira hanya istilah celetukan tante-tante di kampung, ternyata benar-benar masuk KBBI.”
Reaksi lain menyebut, “Siapa pun yang berani memasukkan kata ini, luar biasa.”
Penjelasan Akademisi
Guru Besar Ilmu Linguistik Universitas Gadjah Mada, Profesor I Dewa Putu Wijana, menjelaskan bahwa penamaan kentang jembut sebenarnya muncul dari metafora.
Menurutnya, penamaan itu tidak bisa dilepaskan dari ciri fisik umbinya yang kecil, berserabut, dan menyerupai bagian tubuh tertentu.
“Secara linguistik, ini bentuk metafora. Bahasa kita sering kali menggunakan asosiasi visual untuk menamai benda,” jelasnya.
Profesor Putu juga menekankan, dalam kajian leksikografi, sebuah istilah baru dapat masuk ke KBBI jika sudah digunakan secara berulang dan dianggap hidup di masyarakat.
Pada masa lampau, sebuah kata cukup dipakai tiga hingga lima kali dalam sumber referensi tertulis untuk bisa dipertimbangkan masuk kamus.
Artinya, meskipun terdengar vulgar, kentang jembut tetap sahih secara bahasa karena memang memiliki dasar penggunaan nyata di beberapa daerah di Indonesia.
Mengenal Kentang Jembut dari Dekat
Secara botani, kentang jembut merujuk pada Coleus tuberosus, sejenis umbi-umbian yang juga dikenal dengan nama kentang hitam.
Umbi ini tergolong langka dan tidak sepopuler kentang putih yang biasa dikonsumsi masyarakat luas.
Menurut penelitian dalam jurnal Vegetalika UGM tahun 2020, tanaman ini berasal dari Afrika Barat dan kemudian menyebar ke Asia, termasuk ke Nusantara.
Bentuknya kecil, berkulit kasar, dengan serabut halus yang menjadi alasan munculnya sebutan jembut.
Dagingnya berwarna hitam pekat, berbeda dari kentang pada umumnya yang berwarna putih atau kuning.
Sayangnya, kentang jembut belum dimanfaatkan secara luas sebagai bahan pangan utama.
Banyak masyarakat menganggapnya sekadar umbi liar atau pangan alternatif yang tidak memiliki nilai ekonomi tinggi.
Padahal, jika diolah dengan tepat, kentang ini menyimpan potensi besar sebagai sumber karbohidrat sekaligus bahan makanan eksotis.
Tidak banyak catatan resmi mengenai resep olahan kentang jembut. Namun beberapa sumber menunjukkan bahwa masyarakat di daerah tertentu, termasuk Banyuwangi dan sebagian wilayah Jawa Timur, sudah lama mengenalnya.
Warganet yang pernah mencicipi menyebut rasa kentang ini unik, agak gurih dengan tekstur padat.
Profesor Sri Raharjo, pakar gizi dari UGM, menyarankan kentang jembut diolah dengan cara direbus atau dikukus agar nutrisinya tetap terjaga.
Kulit kentang sebaiknya tidak dikupas karena mengandung serat serta pigmen antosianin yang berfungsi sebagai antioksidan.
Sebaliknya, proses penggorengan dinilai kurang ideal karena suhu tinggi dapat merusak kandungan gizi.
Apalagi kentang jembut termasuk umbi yang lebih rentan kehilangan nutrisi ketika dipanaskan berlebihan.
Dalam sebuah buku resep sehat karya Wied Harry Apriadji, kentang hitam disarankan sebagai bahan substitusi telur puyuh untuk masakan pedas manis berbumbu cabai dan daun jeruk.
Olahan sederhana ini memperlihatkan fleksibilitas kentang jembut yang dapat menyesuaikan dengan berbagai jenis masakan, baik tradisional maupun modern.
Kandungan Gizi
Banyak orang beranggapan bahwa kentang identik dengan sumber karbohidrat tinggi yang bisa memicu peningkatan gula darah. Namun, kentang jembut berbeda.
Umbi ini memiliki kandungan amilosa yang lebih tinggi dibanding amilopektin.
Perbedaan ini membuat indeks glikemiknya relatif rendah. Dengan kata lain, kentang jembut tidak menyebabkan lonjakan gula darah secara drastis setelah dikonsumsi.
Selain itu, kentang jembut juga kaya akan serat yang berperan penting dalam menjaga kesehatan pencernaan.
Fermentasi serat oleh bakteri usus dapat menghasilkan asam lemak rantai pendek seperti butirat dan propionat.
Senyawa ini dikenal mampu melindungi usus besar dari risiko kanker kolon.
Profesor Sri Raharjo menambahkan, konsumsi kentang jembut secara rutin dapat membantu kesehatan saluran cerna, yang pada gilirannya mendukung penyerapan zat besi dan protein lebih baik.
Efek tidak langsung inilah yang membuat kentang jembut dianggap bermanfaat bagi penderita anemia.
Dari Lelucon Jadi Kebudayaan
Di balik kehebohan istilah kentang jembut, terdapat diskusi serius mengenai bagaimana bahasa hidup dan berkembang.
KBBI bukan sekadar kamus, melainkan refleksi budaya dan realitas sosial.
Masuknya istilah ini memperlihatkan bahwa bahasa Indonesia mampu merangkul ragam ekspresi lokal, bahkan yang terkesan tidak sopan, selama memiliki akar penggunaan nyata.
Bagi sebagian orang, istilah ini lucu. Namun bagi masyarakat yang memang sudah terbiasa menyebut umbi itu dengan nama kentang jembut, istilah ini adalah bagian dari tradisi lisan mereka.
Fenomena ini mengingatkan kita bahwa bahasa tidak selalu tunduk pada norma kesopanan semata.
Bahasa juga mencatat kehidupan sehari-hari, termasuk yang dianggap remeh, nyeleneh, atau tabu.
Potensi Ekonomi
Jika dikelola dengan serius, kentang jembut berpeluang menjadi produk khas daerah yang memiliki nilai jual tinggi.
Seperti halnya porang atau gadung yang dulu dianggap tanaman liar, kini justru diekspor ke berbagai negara, kentang jembut pun bisa menempuh jalan serupa.
Kandungan gizi, keunikan warna hitam pada daging umbi, serta nama yang viral dapat menjadi modal branding yang kuat.
Bayangkan bila kentang jembut diolah menjadi keripik, tepung, atau bahkan makanan instan.
Nama uniknya bisa menjadi daya tarik pasar, terutama di era pemasaran digital yang gemar menonjolkan hal-hal eksentrik.
Meski punya potensi, tantangan besar tetap ada.
Pertama, stigma masyarakat terhadap nama kentang jembut.
Sebagian mungkin enggan membeli atau menyajikan di meja makan hanya karena istilahnya terdengar vulgar.
Kedua, ketersediaannya yang masih terbatas. Tanaman ini belum banyak dibudidayakan secara masif.
Perlu riset agronomi untuk memastikan kentang jembut dapat ditanam dalam skala besar dengan hasil stabil.
Ketiga, pemahaman konsumen. Tanpa edukasi yang benar mengenai manfaat dan cara pengolahan, kentang jembut bisa tetap terjebak sebagai bahan pangan alternatif yang jarang dipakai.
Dari ladang hingga meja makan, dari lelucon hingga penelitian ilmiah, kentang jembut menunjukkan bahwa sesuatu yang dianggap remeh pun bisa menjadi topik serius bila dilihat dari berbagai sudut. (A46)